REPUBLIKA.CO.ID, Salah satu periset atom dan nuklir Iran meninggal dalam serangkaian pembunuah di Iran. Apakah Mossad, badan intelijen Israel, berupaya menyabotase proyek nuklir Iran dengan serangan? Para pejabat di Jerusalem tak mengeluarkan bantahan apa pun. Jendral militer Israel malah lebih parah lagi, seruan melakukan serangan udara terhadap Iran kian disuarakan dengan nyaring.
"Israel tidak bertanggung jawab," ujar Menteri Pertahanan Israel, Ehud barak, awal pekan ini ketika ditanya apakah negaranya terlibat dalam pembunuhan seorang pakar nuklir Iran. Pernyataan itu tidak terdengar seperti bantahan kuat, dan senyum yang ditampilkan wajahnya saat diwawancara, menurut laporan yang dilansir Der Spiegel, Selasa (2/8), mengisyaratkan bahwa Israel tak terlalu terganggu dengan kecurigaan terhadap peran negaranya dibalik pembunuhan tersebut.
Hanya ada sedikit keraguan dalam dunia bayang-bayang para agen intelijen bahwa Israel berada dibalik pembunuhan si pakar, Darioush Rezaei. "Bila benar, itu adalah aksi serius pertama yang diambil oleh Direktur Mossad, Tamir Pardo," ujar sumber intelijen Israeil, masih seperti dilansir Spiegel Online.
Pada 23 Juli, Razei menjadi korban terakhir dari serangan berseri misterius selama 20 bulan berturut-turut terhadap pakar elit fisika dan nuklir Iran. Darioush, ilmuwan berusia 35 tahun itu meninggal setelah ditembak tepat di leher di depan sekolah taman kanak-kanak putrinya di Tehran Timur. Media Iran melaporkan bahwa dua orang diduga pelaku melarikan diri dengan sepeda motor.
Kemunduran dalam Nuklir Iran
Lalu siapakah sebenarnya ilmuwan yang ditembak di depan istri dan anaknya itu? Menurut AP, Badan Energi Atom Internasional (IAELA) di Vienna, menyatakan bahwa sosok tersebut, menurut media Israel adalah pakar fisika yang bertugas untuk mengembangkan sistem pemantik bervoltase tinggi, komponen kunci yang krusial untuk mengeset ledakan yang dipicu hulu ledak nuklir. Si ilmuwan tersebut sebelum dibunuh terlihat setiap hari hadir di pusar riset nuklir utara Teheran.
Fakta bahwa kematian Darioush telah mengguncang Iran terlihat pada reaksi para pejabat terhadap pembunuhan tersebut. Kepala parlemen nasional Iran komisi keamanan nasional, Kazem Jalali, menyatakan pembunuhan terhadap ilmuwan Iran menunjukkan bahwa Amerika Serikat dan Israel sangat 'putus asa' menghadapi ambisi nuklir Iran.
Darioush adalah pakar nuklir Iran ketiga yang membayar pekerjaannya dengan nyawa sejak progam nuklir dimulai pada 2010.
Pada Januari 2010, ahli fisikan nuklir, Masoud Ali Mohammadi meninggal ketika sebuah bom dikendalikan dari jarak jauh meledakkan sebuah sepeda motor yang diparkir tepat disamping mobilnya. Pengamat Barat menganggap Masoud adalah salah satu dari top elit ahli nuklir Iran.
Lalu pada 29 November 2010, pelaku tak teridentifikasi melakukan dua serangan yang juga melibatkan sepeda motor berpeledak disamping kendaraan korban. Seorang profesor fisika nuklir, Majid Shahriari, yang memiliki spesialisasi dalam transportasi neutron, terbunuh ketika mobilnya ikut meledak. Istrinya mengalami luka serius dalam serangan tersebut.
Ada pula Fereidoun Abbasi yang ditarget dalam serangan simultan. Abbasi adalah pakar bidang pemisahan isotop nuklir. Saat ia mencurigai ada pengendara sepeda motor mendekat, ia bersama istrinya langsung meloncat keluar dari mobil yang tengah melaju. Mereka berdua terluka dalam ledakan itu.
Setelah Abbasi pulih, presiden Iran, Mahmoud Ahamadinejad menunjukknya sebagai salah satu wakil presiden Iran sekaligus kepala Organisasi Energi Atom Iran.
Iran mencurigai bahwa 'tiga serangkai licik' terdiri dari AS, Israel dan sekutunya, berada di balik serangan, demikian sumber di Tehran menyatakan. Washington menyangkal bertanggung jawab dibalik semua insiden. "Kami tidak terlibat," ujar juru bicara Departemen Luar Negeri AS, menanggapi kematian Darioush. Sementara Israel di sisi lain, memilih sikap diam yang ambigu.
Bagaian Kampanye
Menurut sumber-sumber di intelijen Israel, pembunuhan tersebut adalah bagian dari kampanye untuk menyabotasi, atau paling tidak memperlambat program nuklir Iran. Kampanye itu diduga juga mengikutkan taktik pembunuhan dengan target tertentu.
Serangan dunia maya menggunakan virus komputer Stuxnet, sempat melumpuhkan bagian besar program nuklir Iran pada musim panas 2010. Aksi itu juga diduga bagian dari kampanye rahasia Israel melawan Iran.
Namun bagi garis keras di militer Israel, aksi diam-diam itu tidak dianggap cukup. Seruan untuk mengebom iran kian nyaring dan bergema, terutama dari pejabat angkatan udara Israel.
Kini terdapat debat panas mengenai efektivitas pembunuhan para pakar Iran dan apakah taktik itu dapat membuat tujuan tercapai, ujar pakar intelijen Israel, Yossi Melman di harian Haareetz. Israel, imbuhnya, kini juga menghadapi kecaman keras terhadap pembunuhan lain yang diduga dilakukan oleh para agennya di negara asing.
Hingga kini, pakar Mossad selalu berhasil meyakinkan para pengambil kebijakan bahwa pembuatan bom nuklir Iran dapat dihambat lewat pembunuhan sejumlah tokoh kunci dan serangan terhadap fasilitas nuklirnya. Namun tak cukup jelas sejauh mana dan hingga kapan Perdana Menteri Benyamin Netanyahu akan terus mengikuti saran tersebut.
Politisi di Jerusalem juga memahami betul bahwa Mossad memiliki kepentingan tersendiri ketika mereka mendesakkan opsi bahwa agen merekalah yang harus berperan melawan Iran. "Selama Mossad yang memegang kendali melawan proyek nuklir Iran, maka mereka akan dikucuri dana besar," ujar seorang sumber.
"Apakah mereka akan melakukan serangan terbuka terhadap fasilitas nuklir Iran di masa depan, sebagian besar bergantung apakah militer dan intelijen Israel bisa memenangkan mayoritas dukungan di dalam negeri," ujar sumber tersebut. "Sama seperti yang lain, gengsi turut bermain di sini."