Selasa 11 Oct 2011 17:47 WIB

Myanmar Maju Setahap Lagi, 6 Ribu Lebih Tahanan akan Dibebaskan

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON - Televisi Myanmar yang dikendalikan negara pada Selasa (11/10) mengumumkan pemberian amnesti untuk lebih 6.300 tahanan. Namun dalam pengumuman tidak disebutkan jelas pakah para tahanan politik termasuk di dalamnya.

Pengumuman itu muncul hanya beberapa jam setelah satu forum hak asasi manusia yang dibentuk pemerintah menyerukan pengampunan bagi para tahanan yang diperkirakan oleh kelompok-kelompok HAM mencapai sekitar 2.000.

Komisi Hak Asasi Manusia (HAM) Myanmar telah meminta Presiden U Thein Sein untuk memberikan amnesti kepada para tahanan dalam satu surat terbuka yang diterbitkan di harian resmi Selasa.

Dikatakan bahwa pembebasan para tahanan yang tidak menimbulkan ancaman bagi stabilitas negara dan ketentraman masyarakat akan memungkinkan mereka untuk berpartisipasi dalam cara apa pun dalam tugas pembangunan bangsa, kata surat kabar "New Light of Myanmar".

Pemerintah Myanmar yang baru terpilih membentuk 15 anggota Komisi Nasional HAM pada 5 September, diketuai oleh pensiunan duta besar U Win Mya. Sebanyak 14.758 tahanan di seluruh negeri telah dibebaskan pada 17 Mei tahun ini atas perintah amnesti setelah pemerintah baru mulai menjalankan pemerintahan pada 30 Maret.

Satu petisi PBB yang ditandatangani ribuan warga Amerika Serikat bulan lalu mendesak penyelidikan yang dipimpin PBB terhadap kejahatan kemanusiaan yang dituduhkan terjadi Myanmar.

Kampanye AS untuk Burma mengatakan 13.000 warga AS menandatangani petisi itu, banyak di antara mereka oleh penggemar U2, yang wakil organisasi itu adalah Bono, seorang pemusik pendukung pemimpin oposisi Myanmar Aung San Suu Kyi sejak lama.

Direktur kelompok advokasi itu, Aung Din, menyampaikan petisi itu kepada dubes berkuasa penuh mengenai kejahatan perang Departemen Luar Negeri AS, Stephen Rapp, Senin, bertepatan dengan ulang tahun keempat tindakan berdarah Myanmar terhadap pemberontakan yang dipimpin para biksu.

Deplu AS dan kelompok-kelompok HAM ketika itu mengatakan, militer Myanmar membakar desa-desa, memaksa penduduk desa melakukan kerja paksa dan menggunakan perkosaan sebagai satu senjata perang dalam kampanyenya terhadap pemberontak etnik minoritas.

"Keadilan adalah bagian penting rekonsiliasi nasional di setiap negara. Burma tidak dapat maju sampai serangan-serangan ini dihentikan dan norma hukum diwujudkan," kata Aung Din dalam satu pernyataan.

Para pejabat AS memuji apa yang mereka anggap satu tanda-tanda yang menjanjikan di Myanmar. Tetapi AS menegaskan bahwa tindakan lebih jauh diperlukan lagi.

Menteri Luar Negeri Myanmar, Wunna Maung Lwin, mengunjungi New York beberapa pekan lalu untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB dan bertemu dengan para pejabat AS termasuk Derek Nitchell, utusan khusus untuk negara itu, yang baru-baru ini melakukan kunjungan pertama ke sana.

sumber : Antara
BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement