REPUBLIKA.CO.ID, Hidup mantan pemimpin Libya, Moammar Qaddafi yang bersumpah bertahan hingga titik darah penghabisan akhirnya berakhir. Ia dikabarkan tewas terluka di Sirte, kampung halamannya sendiri.
Mengenai kematian Qaddafi, sebuah prespektif tak biasa disodorkan oleh jurnalis barat asal Inggris, Robert Fisk. Ia menyinggung, jangan salahkan Qaddafi yang berpikir ia adalah orang baik yang berada di posisi benar. Sebab, tulis Robert, dunia Barat pun ikut membentuk pemikiran tersebut. Berikut petikan tulisan Robert Fisk.
Kita mencintainya. Kita membencinya. Lalu, kita mencintainya Lagi. Blair meludahinya. Lalu kita membencinya lagi. Kemudian La Clinton meludahinya lewat BlackBerrynya dan kita benar-benar membencinya bahkan lebih lagi. Mari kita berdoa bahwa ia tidak dibunuh. "Meninggal karena luka parah saat ditangkap." Apakah artinya itu?
Ia telah pergi, kolonel yang dulu dicintai oleh Kantor Kementrian Luar Negeri Inggris (setelah kudeta melawan Raja Idris) dijaga sebagai 'sepasang tangan yang aman'. Kemudian diumpat ketika ia mengirim senjata ke IRA (gerakan pembebasan Irlandia) lalu dicintai lagi, dan seterusnya dan seterusnya. Dapatkah anda menyalahkan pria itu bila ia berpikir ia adalah orang baik?
Dan ia pun lenyap, lalu? Ditembak ketika mencoba bertahan? Kita bisa hidup menyaksikan kematian Ceausescu (dan juga istrinya) lalu mengapa tidak dengan kematian Qaddafi? Lagi pula istri Qaddafi aman. Lalu mengapa tidak diktator itu mati? Pertanyaan menarik.
Apakah teman kita, Dewan Transisi Nasional mengeluarkan dekrit untuk menghabisinya? Ataukah ini adalah 'alami', sebuah kematian di tangan musuh, sebuah akhir terhormat untuk pria jahat? Saya bertanya-tanya. Betapa Barat pasti lega bahwa tak perlu ada pengadilan, tidak perlu ada pidato tanpa akhir dari Pemimpin Besar, tak ada pembelaan terhadap rezimnya. Tak ada pengadilan berarti tak perlu terungkap praktik penyiksaan, penculikan paksa dan pemotongan alat kelamin bagian kerjasama intelijen barat di Libya.
Jadi mari tak perlu lagi mengenang kisah buruk Qaddafi. Lebih dari 30 tahun lalu saya pergi ke Tripoli dan bertemu dengan orang-orang IRA yang mengirim Semtex ke Irlandia dan melindungi warga Irlandia di Libya. Warga Libya sungguh bahagia sehingga saya harus bertemu mereka. Mengapa tidak? Mengingat itu adalah periode ketika Qaddafi adalah pemimpin dunia ketiga. Kita terbiasa dengan cara rezimnya. Kita terbiasa dengan kekejamannya. Kita nyaman dengan itu dan kemudian menganggapnya normal. Sehingga penting untuk menyelesaikan dokumentasi tindakan tak bermoral yang dibentuk atas nama kita.
Memang, ini adalah akhir dari bukti yuridis praktek penyiksaan oleh rezim Qaddafi yang (tentu) kerap dilakukan atas nama pemerintah Inggris. Bukankah ini akan menjadi kabar baik? Wanita Inggris yang mengetahui semua tentang penyiksaan--anonim, tetapi saya tahu namanya, pastikan saja dia tidak bersikap aneh lagi dan ingin mengungkap semuanya. Akankah wanita itu lolos dari hukum, dan akankah kita semua nyaman dengan teman-teman Moammar Qaddafi usai kematiannya.
Mungkin. Namun jangan lupakan masa lalu. Qaddafi mengingat betul aturan kolonial Italia di Libya, aturan menindas Italia yang harus dijalani setiap warga Libya ketika berkonfrontasi dengan orang Italia, ketika pahlawan Libya digantung di tempat umum, ketika kemerdekaan Libya dianggap sebagai bentuk terorisme.
Pengusaha Minyak, dan para penghuni IMF akan diperlakukan tidak lebih baik dari pemilik. Warga Libya adalah rakyat yang cerdas. Qaddafi mengetahui betul itu, meski secara fatal, ia menganggap dirinya sendiri lebih cerdas. Gagasan bahwa rakyat kesukuan itu akan tiba-tiba 'mengglobal' dan menjadi sesuatu yang berbeda tentu gagasan konyol.
Ia tak meyakini 'Palestina' karenia ia berpikir Israel telah mencuri tanah Arab terlalu banyak (itu betul) dan ia tak terlalu percaya dunia Arab--karena keyakinan kesukuannya. Ia sungguh orang yang sangat aneh.
Kita kini mesti menunggu untuk mencari tahu bagaimana Qaddafi mati. Apakah ia dibunuh? Apakah ia mati karena bertahan (tindakan berani kesukuan)? Tak perlu khawatir--La Clinton akan bahagia ia telah 'terbunuh'.