Rabu 23 Nov 2011 20:30 WIB

Masyarakat Austria Belum Siap Terima Kehadiran Islam

Rep: Agung Sasongko/ Red: Didi Purwadi
Vienna Islamic Center dibangun dari 1975 hingga 1979. Masjid ini menjadi pusat kegiatan amaliyah selama Ramadhan bagi Muslim Austria, mampu mengakomodasi 8 persen dari 430 ribu Muslim yang tinggal di negeri ini.
Foto: .
Vienna Islamic Center dibangun dari 1975 hingga 1979. Masjid ini menjadi pusat kegiatan amaliyah selama Ramadhan bagi Muslim Austria, mampu mengakomodasi 8 persen dari 430 ribu Muslim yang tinggal di negeri ini.

REPUBLIKA.CO.ID,WINA - Austria merupakan salah satu negara Eropa yang mengakui Islam sebagi agama resmi negara. Kendati demikian, masih terlihat ketidaksiapan masyarakat Austria dalam menerima keberadaan komunitas Muslim. Respon terhadap isu radikalisme dan burka merupakan bentuk ketidaksiapan itu.

Pemimpin Partai Sayap Kanan Austria, Heinz-Christian Strache, menuturkan Austria seperti halnya negara Eropa lainnya menghadapi masalah terkait kehadiran para imigran Muslim asal Turki. Menurutnya, lebih dari 50 persen imigran Muslim yang berasal dari Turki enggan berintegrasi dalam masyarakat Austria.

"Mereka tidak berniat mempelajari bahasa dan budaya yang berlaku di Austria. Belum lagi soal kelompok radikal. Mereka menghambat pembangunan fondasi perdamaian dan demokrasi di Austria," kata dia seperti dikutip rt.com, Rabu (23/11).

Strache menyadari masyarakat Austria menghormati Islam. Islam merupakan bagian dari agama dunia. Sayangnya, ada semacam tanda-tanda lahirnya kelompok radikal. Itu tercermin dalam usaha untuk membangun menara Masjid dan kumandang adzan dengan pengeras suara.

"Mereka adalah tamu, tapi kebebasan beragama mereka dijamin. Sementara, di negara-negara Islam, kami umat Kristiani tidak mendapati kebebasan yang sama," kata dia.

Itulah sebabnya, kata Strache, masyarakat Austria perlu sensitif dengan perkembangan Islam. Sebab, persoalan ini juga menyangkut pelestarian budaya Eropa. "Kita perlu menjaga budaya Eropa agar tidak menghilang secara politis dan demografis. Ini yang coba kami usahakan di Eropa," katanya.

Terkait video game yang bermuatan Islamphobia, Strache mengutuk tindakan itu. Sebab, cara itu tidak dibenarkan. "Kita harus berpegang pada kebenaran," kata dia.

Ironisnya, meski mengutuk aktivitas bernuansa Islamphobia, Strache justru mendukung larangan mengenakan burka bagi Muslimah di ruang publik. Menurutnya, larangan itu merujuk pada kenyataan bahwa setiap Muslimah tidak perlu menyembunyikan wajah mereka.

"Semua orang bebas untuk melakukan apa pun yang diinginkan. Dalam kasus burka, setiap Muslim harus berintegrasi dan beradaptasi dengan kondisi kita dan mengamati hukum kita. Dan, itulah yang kami harapkan dari mereka," pungkas dia.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement