REPUBLIKA.CO.ID, BRUSSELS - Secara tegas aliansi militer NATO membantah terlibat dalam masalah Iran, yang ramai diperbincangkan dunia belakangan ini. Namun, NATO mendesak pemerintah Iran agar menjaga Selat hormus yang strategis tersebut tetap terbuka.
"NATO sebagai aliansi, sebagai organisasi, tidak terlibat dalam masalah Iran. Sekutu sebagai individu ya, tapi NATO sebagai satu organisasi tidak," tegas Sekretaris Jenderal NATO Anders Fogh Rasmussen kepada wartawan, Kamis (26/1).
"Jelasnya, kami mengikuti situasi dari dekat dan beberapa pernyataan dari pimpinan Iran tentu saja menjadi keprihatinan," katanya menambahkan.
"Saya mendesak kepemimpinan Iran untuk memenuhi komitmen internasional, termasuk menghentikan program pengayaan uranium dan memastikan perlayaran bebas di Selat Hormuz," kata Rasmussen menegaskan.
Sementara itu Beijing Kamis menyebut sanksi Uni Eropa terhadap Iran yang diumumkan awal pekan ini atas reaksi terhadap program nuklir Teheran, sebagai "tidak konstruktif", kata media pemerintah.
"Memberlakukan sanksi dan tekanan membabi buta terhadap Iran bukan merupakan pendekatan konstruktif," kata Kementerian Luar Negeri yang dikutip oleh kantor berita Xinhua dalam menanggapi pertanyaan tentang langkah-langkah Uni Eropa yang telah diumumkan pada Senin itu.
Uni Eropa mengumumkan menolak embargo minyak Iran itu hanya beberapa pekan setelah Washington memberlakukan sanksi-sanksi baru terhadap Teheran, yang merupakan sanksi cepat bagi Republik Islam itu.
Kekuatan Barat percaya Iran akan membangun bom nuklir, namun Teheran membantah keras hal itu, mengatakan program atomnya adalah bukan untuk tujuan militer. Cina - sekutu utama dan mitra dagang utama Iran - secara konsisten menentang penggunaan sanksi.
Hubungan ekonomi antara Teheran dan Beijing telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir, sebagian terjadi berkat penarikan perusahaan Barat sejalan dengan sanksi terhadap Republik Islam itu terkait program nuklirnya.
Negara ekonomi besar di Asia itu juga sangat bergantung pada minyak Iran, dan telah memperkuat kehadirannya di negara kaya minyak dan gas itu dengan menandatangani serangkaian kontrak senilai 40 miliar dolar AS beberapa tahun terakhir.