REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG - Mengeluarkan Damaskus dari perundingan untuk mengakhiri penumpasan di Suriah akan menjadi kesalahan. Hal itu ditegaskan Menteri Luar Negeri Rusia, Sergei Lavrov menyambut rencana pemungutan suara bagi undang-undang dasar baru Suriah, Rabu (15/2).
Saat berbicara dalam jumpa pers di Den Haag setelah bertemu dengan timpalannya dari Belanda, Uri Rosenthal, Lavrov mengecam negara yang ingin mengucilkan pemerintah Presiden Bashar al-Assad, yang dituduh melanggar hak asasi manusia.
"Sayangnya, beberapa yang telah menjadi mitra kami sejaklama, mencoret pemerintah Suriah," kata Lavrov, yang negaranya bersama China memveto resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa, yang mengutuk kekerasan di Suriah, pada awal Februari.
"Alih-alih berembuk, ada upaya mengucilkan pemerintah Suriah," katanya.
Rosenthal dengan tajam menyatakan tidak setuju dengan pernyataan Lavrov. "Dari sisi Belanda, kami pikir presiden Suriah harus mundur," cetus Rosenthal.
Di Strasbourg, Menteri Luar Negeri Prancis Alain Juppe menyatakan Rusia-lah yang mengucilkan diri.
Lavrov menyatakan Moskow menyambut keputusan Assad memerintahkan penentuan pendapat rakyat mengenai undang-undang dasar baru pada Februari, yang akan mengakhiri hampir 50 tahun kekuasaan satu partai.
"Kami tentu percaya bahwa undang-undang dasar baru untuk mengakhiri kekuasaan satu partai di Suriah
adalah langkah maju. Pemikiran itu patut disambut dan kami berharap undang-undang dasar itu akan diputuskan," kata Lavrov.
Ia menyatakan Rusia tetap percaya bahwa Suriah harus memecahkan masalahnya melalui perundingan tanpa gangguan luar dan hanya jika baik pemerintah Assad maupun kekuatan prodemokrasi terlibat.
Kantor berita resmi Suriah SANA sebelumnya melaporkan bahwa Assad mengeluarkan keputusan bahwa Minggu (26/2) mendatang adalah waktu untuk penentuan pendapat rakyat, yang akan mengantar masa baru bagi Suriah. Berdasarkan atas piagam baru itu, kebebasan adalah hak suci dan rakyat akan memerintah rakyat dalam pranata demokkratik banyak partai berdasarkan atas hukum Islam, kata televisi negara.
Rancangan undang-undang dasar baru itu meninggalkan pasal 8 piagam lama, yang menyatakan partai Baath, yang berkuasa sejak 1963, sebagai pemimpin negara dan masyarakat.