REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Kalangan pengamat, pemerintah, dan DPR menilai kewajiban royalti satu persen yang selama ini dijalankan PT Freeport Indonesia (PTFI) teramat kecil. DPR misalnya, mengusulkan agar royalti PTFI di atas empat persen.
"Kita inginkan empat persen, bahkan lebih," kata Anggota Komisi Energi DPR Satya W Yudha saat dihubungi Republika, Rabu (22/2). PTFI, menurutnya, sudah mulai menyadari mereka ingin berinvestasi jangka panjang di Indonesia. Namun, negara tak mungkin rela dininabobokan dengan janji-janji palsu. Satya menegaskan harus ada hitam di atas putih.
Pada 2010 , dalam rilisnya, PTFI mengaku sudah melakukan investasi lebih dari 137 juta dolar AS . untuk berbagai program berkelanjutan. Sebanyak 64 juta dolar AS di antaranya didedikasikan bagi komunitas lokal Papua melalui dana kemitraan bagi pengembangan masyarakat. PTFI juga mempekerjakan sekitar 22 ribu karyawan di Papua. Sebanyak 98 persennya Warga Negara Indonesia, dimana 28 persen dari jumlah tersebut adalah karyawan asal Papua.
PTFI mengaku sudah membayarkan pajak, royalti, dan dividen selama 2011 mencapai 2,4 miliar dolar AS atau setara Rp 21,66 triliun (jika kurs mata uang yang berlaku Rp 9.025 per dolar AS). "Jika berdasarkan kontrak karya 1992, jumlah totalnya lebih dari 13,4 miliar dolar AS," kata juru bicara FPTFI Ramdani Sirait.
Jumlah tersebut, menurut pengamat pertambangan dan perminyakan dari Center for Petroleum Economics Studies (CPES) Kurtubi, sangat kecil. Sebab, PTFI mendapatkan ribuan triliun mengeruk kekayaan Indonesia. Menanggapi royalti satu persen, ia menilainya sangat keterlaluan. "Seluruh rakyat Indonesia pasti menilai itu sangat keterlaluan," ujarnya.
Kurtubi memaparkan royalti emas yang berlaku di Indonesia sekiar 3,75 persen, dan tembaga sekitar empat persen. Sedangkan memakai ketentuan ini saja, menurutnya, tak pantas. Sebab, prosentase 3,75 persen itu flat tanpa mengikuti perkembangan harga emas di dalam negeri yang sudah terbilang tinggi.
Kurtubi memperingatkan Freeport bahwa rakyat Indonesia sudah sadar betul bahwa kontrak karya perusahaan raksasa asal Amerika Serikat ini sangat merugikan negara dan daerah. Ia menyarankan demi kepentingan operasional Freeport di Indonesia, maka mereka diminta sukarela menerima tuntutan rakyat dan pemerintah. "Daripada mereka diusir ? sebab rakyat pada titik tertentu ada batas kesabarannya," katanya.