REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT— Rakyat Suriah akan memberikan suara dalam referendum yang digelar Ahad (26/2). Sekitar lebih dari 14 juta orang di atas usia 18 tahun yang memenuhi syarat akan memberikan suara untuk mengubah konstitusi negara itu.
Referendum ini dijanjikan Presiden Bashar Al-Assad dapat mengakhiri sistem pemerintahan satu partai yang berkuasa selama lebih dari lima dekade. Referendum ini memungkinkan pluralisme politik dan seorang presiden bisa dipilih dua kali dengan setiap masa jabatan selama tujuh tahun. Referendum ini juga melarang pembentukan partai politik berdasarkan agama.
Adapun konstitusi baru disusun oleh komite yang beranggotakan 29 orang ditunjuk langsung Assad dan akan menghilangkan pasal 8 undang-undang dasar yang menyebabkan partai Baath pimpinan Bashar al-Assad menjadi pemimpin negara dan rakyat Suriah.
Assad masih memiliki kuasa besar meskipun referendum ini akan melunturkan ciri Suriah sebagai negari sosialis. Assad masih dapat menunjuk perdana menteri, anggota kabinet dan dalam kondisi tertentu dapat menggunakan veto terhadap parlemen. Pasal 60 juga menekankan sebagian besar petinggi negara harus berbasis buruh dan petani.
Suriah juga menolak semua keputusan konferensi Sahabat Suriah pada Sabtu (25/2). "Suriah menolak seruan-seruan untuk mempersenjatai oposisi, karena kami menganggapnya sebagai langkah dukungan terhadap teroris yang akan menyakiti orang-orang Suriah dan harapan mereka untuk perdamaian dan stabilitas," kata sumber yang tidak disebutkan namanya kepada kantor berita SANA.
Sumber itu juga mendesak semua partai oposisi, yang menolak untuk berpartisipasi dalam pertemuan di Tunisia untuk memulai dialog nasional secepat mungkin.
Di sisi lain, pihak oposisi menegaskan akan memboikot referendum tersebut. Di Damaskus, tempat dimana pasukan pemerintah memukul mundur pengunjuk rasa, para aktivis mengatakan mereka akan mencoba mengadakan protes di dekat tempat pemungutan suara dan membakar salinan konstitusi baru.
Televisi negara memerlihatkan pejabat menyusun kotak suara referendum dan memersiapkan tempat pemungutan suara dan warga yang diwawancarai berencana untuk ikut memilih demi kepentingan nasional. "Silakan warga memilih untuk konstitusi baru dan menyalurkan aspirasi untuk membangun Suriah yang modern," kata asisten sekretaris jenderal parta Baath, Mohammad Saeed Bkheitan.
Aktivis mengatakan, pasukan keamanan menghentikan orang-orang yang membeli makanan dan menyita kartu identitas mereka dan kartu dapat diambil kembali setelah mereka memilih di pusat-pusat pemungutan suara. "Mereka ingin memaksa orang untuk memilih dalam referendum, sehingga ini disebut referendum," kata aktivis Mohammad al-Homsi dari Homs.
Pihak oposisi Komite Koordinasi Lokalmengatakan referendum dilakukan Assad untuk menutupi tindakan kekerasan pasukan pemerintah. Mereka menyatakan referendum tersebut hasilnya telah diketahui terlebih dahulu dan tidak akan mengubah negara yang mendukung kekerasan.
Suriah telah menyelenggarakan dua kali referendum sejak Bashar mewarisi kekuasaan dari almarhum ayahnya 12 tahun yang lalu. Yang pertama pada pemilihan presiden tahun 2000 dengan 97,29 persen resmi suara memilih Assad.
Sementara yang kedua ,masa jabatannya diperpanjang tujuh tahun kemudian dengan 97,62 persen suara. Amerika Serikat sendiri melukiskan referendum Suriah ini sebagai sebuah hal yang menggelikan. Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglujuga mempertanyakan bagaimana bisa pemungutan suara dapat terjadi di tengah-tengah kekerasan.
"Di satu sisi Anda berkata Anda meyelenggarakan referendum dan di sisi lain Anda menyerang di daerah-daerah sipil. Anda masih berpikir orang-orang akan pergi ke referendum pada hari berikutnya di kota yang sama" ia bertanya pada konferensi pers di Istanbul.