Senin 05 Mar 2012 10:09 WIB

Ishlah Al-Manthiq, Koreksi Atas Penyimpangan Bahasa (3-habis)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Kitab tasawuf (ilustrasi).
Foto: Blogspot.com
Kitab tasawuf (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Tak ketinggalan, di antara satu dari sekian bahasan penting yang disampaikan oleh Ibn as-Sikkit menyangkut kesalahan pengucapan huruf "sin" dan "shad" oleh kebanyakan orang.

Terdapat kata di dalamnya ada huruf shod, tetapi dibaca dengan huruf sin. Ataupun sebaliknya, kata yang mestinya dibaca huruf sin ternyata kerap dibaca dengan pelafalan shod. Misalnya, kata "qarish" dan "qaris". Kata qarish (dengan huruf shad) tak boleh dieja dengan huruf sin karena memiliki arti yang berbeda.

Qarish berarti segar, sedangkan qaris yang menggunakan huruf sin berarti dingin. Penggunaan keduanya juga tidak sama. Qaris misalnya, untuk mengungkapkan kondisi atau cuaca yang dingin. Sedang qarish umumnya dipakai untuk menyatakan nikmatnya sebuah minuman yang dirasakan oleh lidah.

Pakar bahasa bermazhab Syiah

Dilahirkan di tengah-tengah keluarga yang terdidik, sang ayah Ishaq, adalah seorang guru dan pakar bahasa serta syair. Ibnu as-Sikkit mempunyai nama lengkap Abu Yusuf Ya’qub bin Ishaq ad Darwaqi al-Ahwazi. Sedangkan julukan Ibnu as-Sikkit melekat dalam pribadinya, lantaran sang ayah terkenal sebagai sosok yang dingin dan pendiam.

Konon, keduanya mengajar di gerbang jembatan hingga Ibnu as-Sikkit memutuskan untuk belajar dan memperdalam ilmunya kembali. Dia pun lantas berguru kepada beberapa tokoh bahasa terkemuka di masanya. Antara lain Abu Amar as-Syaibani, al-Farra, Ibnu al-A’rabi, dan al-Atsram.

Ibnu as-Sikkit juga mengambil riwayat dari al-Ashma’i dan Abu Ubaidah. Kepakarannya terkenal di seantero Baghdad. Setelah sukses mendidik anak-anak Muhammad bin Abdullah bin Thahir, salah seorang pemimpin terkemuka di Baghdad kala itu, karier mengajarnya beranjak naik.

Dia dipercaya oleh Khalifah al-Mutawakkil, penguasa Dinasti Abbasiyah, untuk mengajar kedua anaknya, yaitu al-Mu’tazz dan al-Muayyid. Kepercayaan itu diembannya dengan sempurna. Sayang, kecondongannya terhadap Syiah (tasyayyu’) tidak bisa diterima oleh al-Mutawakkil.

Meskipun sang khalifah mengakui kesuksesan Ibnu as-Sikkit dalam pendidikan kedua putra mahkotanya, lagi-lagi ideologi yang dipegangnya bertentangan dengan mazhab yang dianut oleh sang penguasa Baghdad. Hingga suatu saat keyakinannya itu menjadi menjadi ancaman bagi dirinya.

Al-Mutawakkil sempat memanggil Ibnu as-Sikkit untuk pengakuan dan penyesalan atas sikap tasyayyu’-nya. Sejumlah kerabat sempat melarangnya pergi menemui khalifah. Namun, hal itu tak mengurangi niatnya dan keteguhan hatinya terhadap keyakinan yang dianutnya.

Tatkala disodori pertanyaan, "Siapakah di antara dua yang paling dia sukai, Hasan atau Husein-kah?" Dia pun menjawab mencintai keduanya. Tak terima dengan jawaban itu, Sang khalifah lantas memutuskan untuk menjatuhkan hukuman mati pada Ibnu as-Sikkit dan memerintahkan memotong lidahnya.

Tak lama beberapa waktu kemudian, dia meninggal dunia. Tepatnya pada hari Kamis bulan Rajab tahun 244 H. Ibnu as-Sikkit meninggalkan karya berharga, terutama di bidang bahasa. Selain kitab Islah al-Manthiq, ada sekitar 20 kitab lebih yang pernah ditulisnya. Antara lain kitab Tahdzib al-Alfadz, al-Alfadz, al-Adhdhad, dan al-Mudzakkar wa al-Muannats.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement