REPUBLIKA.CO.ID, "Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah. Bagi-Nyalah segala penentuan, dan hanya kepada-Nyalah kamu dikembalikan.” (QS. Al-Qashash: 88).
Di era 40-an, upaya mempersatukan kedua kubu tak sebatas wacana dan isapan jempol belaka. Realisasi gagasan tersebut secara formal bahkan telah dilakukan oleh institusi Al-Azhar, Mesir.
Al-Azhar telah membentuk forum yang diberi nama Jama’at at-Taqrib Bain al-Madzahib al-Islamiyyah. Lembaga itu berada di bawah koordinasi langsung institusi Al-Azhar. Lembaga tersebut diperuntukkan sebagai wadah dialog, komunikasi, dan perumusan berbagai persoalan penting yang menyangkut aspek-aspek yang bisa dipertemukan di antara kedua kubu itu.
Lembaga itu juga hadir untuk memetakan dan memecahkan sejumlah masalah yang diperselisihkan keduanya. Sejumlah nama penting pun terlibat di dalamnya. Di antaranya Syekh Abdu Majud Salim, Syekh Mahmud Syaltut, Sayyid Muhammad Taqiy Al-Qammy, dan Syekh Muhammad Al-Madani.
Aktivitas lembaga itu tergolong efektif mengurai benang kusut yang selama muncul di permukaan. Semangat persatuan, toleransi, dan mengesampingkan perbedaan mendasari efektivitas lembaga itu. Hasilnya cukup fantastis dan layak diapresiasi.
Forum tersebut berhasil merekomendasikan berbagai kebijkan. Di level media komunikasi dan publikasi, lembaga itu memprakarsai terbitnya sebuah majalah, Al-Islam. Majalah tersebut menjadi corong efektif ke masyarakat Muslim di Mesir guna memberikan pemahaman tentang pentingnya persatuan umat.
Di sisi lain, forum ini berhasil menghasilkan sebuah kebijakan yang monumental. Forum merekomendasikan untuk memasukkan materi fikih bermazhab Syiah ke dalam kurikulum di berbagai tingkatan yang berada di bawah Al-Azhar. Gagasan progresif yang belum pernah ditempuh di masa itu.
Kegiatan dan aktivitas yang dilakukan Forum itu pada dasarnya adalah sikap toleransi dan kedewasaan yang pernah diteladankan oleh para salaf. Abu Hanifah di Irak dan Imam Malik di Madinah, dua tokoh utama dalam rancang bangun ilmu fikih di kalangan Sunni, tak segan-segan belajar dan mengambil pendapat dari tokoh Syiah. Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq salah satunya.
Sikap serupa juga ditunjukkan oleh Imam Syafi’i dan Ahmad bin Hanbal. Walaupun keduanya tak bertemu langsung dengan Imam Ja’far lantaran berbeda masa, paling tidak mereka berdua sering bertemu dan berdiskusi dengan beberapa murid Ja’far. Lagi-lagi, menurut Ar-Rafi’i, perpecahan yang kini meradang antara Sunni dan Syiah lebih diakibatkan oleh faktor eskternal.
"Jadi, bukan perpecahan faksi dalam akidah dan internal umat. Pengaruh politik yang sporadis dan strategi pecah belah umat oleh para musuh Islam terutama Zionis merupakan faktor yang membuat Syiah dan Sunni membuat jarak. Mereka (Zionis) menginginkan kita berseteru," ujar ar-Rifai’i.
Bukankah kedua aliran baik Sunni maupun Syiah diikat oleh persaudaran yang berlandaskan keimanan kepada Allah SWT? Lalu mengapa harus berseteru dan berpecah belah?