REPUBLIKA.CO.ID, Alasan lain yang membenarkan penggunaan syair, juga ayat-ayat Alquran, dalam kesempatan-kesempatan seperti ini adalah bahwa orang-orang telah sedemikian akrab dengan Alquran, banyak di antaranya bahkan telah menghafalnya, sehingga pengaruh pembacannya telah sedemikian ditumpulkan oleh perulangan yang berkali-kali.
Seseorang tidak bisa selalu mengutip ayat-ayat Alquran baru sebagaimana yang bisa dilakukan dengan syair. Suatu kali ketika beberapa orang Arab Badul mendengarkan Alquran untuk pertama kalinya dan menjadi sangat tergerak olehnya.
Abu Bakar berkata kepada mereka, "Kami dulu pernah seperti kamu, tetapi sekarang hati kami telah mengeras." Berarti Alquran telah kehilangan sebagian pengaruhnya atas orang-orang yang akrab dengannya.
Dengan alasan yang sama, Khalifah Umar biasa memerintahkan para peziarah haji ke Makkah agar segera meninggalkan tempat itu secepatnya. "Karena saya khawatir, jika kalian menjadi terlalu akrab dengan Kota Suci itu, ketakjuban kalian terhadapnya akan sirna dari hati-hati kalian," kata Umar.
Ada pula penggunaan nyanyian dan peralatan musik—seperti seruling dan gendang—secara tak berbobot dan sembrono, paling tidak di mata masyarakat awam. Keagungan Alquran tak pantas, meskipun sementara, dikaitkan dengan hal-hal seperti ini.
Diriwayatkan bahwa sekali waktu Nabi SAW memasuki rumah Rai'ah putri Mu'adz. Beberapa orang gadis penyanyi yang ada di sana secara tiba-tiba mulai mengalunkan nyanyiannya untuk menghormati beliau.
Nabi SAW dengan segera meminta mereka untuk berhenti, karena puji-pujian bagi Nabi adalah tema yang terlalu sakral untuk diperlakukan demikian. Akan timbul pula bahaya jika ayat-ayat Alquran dipergunakan secara khusus, sehingga pendengar-pendengarnya akan mengaitkannya dengan penafsiran mereka sendiri, dan hal ini terlarang.
Di pihak lain, tak ada bahaya yang mungkin timbul dalam menafsirkan baris-baris syair dengan berbagai cara, karena memang makna yang diberikan seseorang atas suatu syair tak harus sama dengan yang diberikan oleh penulisnya.