REPUBLIKA.CO.ID, Ajaran Islam mensyariatkan berbagai macam ibadah. Ada ibadah yang ditunaikan langsung menggunakan fisik, ada ibadah yang berkaitan dengan harta, dan ada pula ibadah yang menggabungkan keduanya.
Shalat dan puasa termasuk ibadah yang ditunaikan secara langsung dengan menggunakan fisik. Keduanya bisa disebut dengan ibadah fisik (badaniyyah). Sedangkan zakat, infak, dan sedekah termasuk pada ibadah yang berkaitan dengan harta.
Ibadah yang menggabungkan fisik dan harta tercermin dalam ritual haji dan umrah. Di antara ibadah-ibadah yang disyariatkan dalam Islam, ada satu yang memang khusus diperuntukkan dan bermakna sebagai upaya menahan diri dan hawa nafsu. Ibadah itu bernama berpuasa.
Ritual puasa dijalankan dengan niat tulus untuk mencari keridhaan Allah SWT. Caranya, menahan diri dari perkara-perkara yang diperbolehkan di luar puasa, tak terkecuali meninggalkan segala hal yang diharamkan. Dalam Islam, waktu berpuasa itu dimulai dari sejak terbit fajar hingga terbenamnya matahari.
Itulah makna puasa yang disampaikan oleh Syekh Yusuf Al-Qardhawi dalam kitabnya yang bertajuk Taysir Al-Fiqh Fi Dhau’i Al-Qur’an wa As-Sunnah (Fiqh As-Shiyam). Kitab itu merupakan bagian pertama yang ditulis Syekh Qardhawi dari silsilah fikih. Karya yang ditulisnya itu memang tergolong lama, rampung dikerjakan dua puluh tahun silam atau sekitar tahun 1990-an.
Namun, topik tentang puasa selalu hangat dan dibutuhkan untuk dibahas setiap tahunnya. Puasa yang dikemukakan oleh Syekh Qaradhawi tidak sekadar puasa wajib tahunan, yaitu Ramadhan, tetapi juga membahas tentang puasa-puasa sunah, seperti puasa Rajab, Sya’ban, dan puasa enam hari di bulan Syawal.
Dari uraian yang dipaparkannya, ketua Persatuan Ulama sedunia itu hendak menawarkan tentang landasan berpuasa dan aplikasinya sesuai dengan Alquran dan hadits. Apa yang dipaparkannya sebisa mungkin tetap menjaga prinsip kemudahan ( taisir) yang menjadi salah satu kaidah dan filosofi penting dalam agama.
Karenanya, dalam setiap ritual yang diperintahkan agama terdapat hikmah yang bisa dipetik. Sekalipun, bagi masyarakat Arab, tuntunan puasa bukanlah hal yang asing. Sebab, tradisi berpuasa sudah dikenal sejak zaman Arab Jahiliyah. Itulah mengapa, Rasulullah menjelaskan syariat puasa ketika ditanya oleh seorang Badui tentang Islam. Orang Badui tersebut juga tidak merasa heran.
Orang Badui itu pun lantas meminta penjelasan tentang bagian ritual lainnya. Menurut Syekh Qardhawi, hikmah yang bisa diambil dari puasa, antara lain, menempa diri dan membersihkan jiwa (tazkiyah an-nafs) serta membiasakan diri agar senantiasa bersyukur.
Orang hanya akan merasakan kenikmatan tatkala nikmat tersebut menjauh. Seseorang akan merasakan nikmatnya makan dan minum karena selama kurang lebih 12 jam berpuasa. Sisi sosialnya, puasa memunculkan solidaritas dan empati terhadap kaum dhuafa yang kerap merasakan kelaparan.