REPUBLIKA.CO.ID, SHANGHAI - Pemerintah Cina memerintahkan Coca-Cola menghentikan produksinya setelah media melaporkan adanya klorin dalam produknya, Senin (30/4). Pejabat Provinsi Shanxi, di mana pabrik Coca-Cola berdiri telah meminta dilakukan penyelidikan.
"Pemeriksaan di lokasi kejadian, pengujian produk, catatan konsultasi, wawancara pekerja dan metode lain yang dilaporkan media memang benar adanya," ujar biro kualitas provinsi dalam pernyataannya.
Namun, juru bicara Coca-Cola mengatakan penghentian produksi sementara tidak memiliki keterkaitan dengan keamanan produk atau kandungan klorin. Dalam pernyataannya, Coca-Cola mengatakan penundaan produksi tersebut berhubungan dengan kualitas dan produksi tanpa merinci lebih jauh.
"Kandungan klorin masih berada di bawah standar air minum yang ditentukan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), Uni Eropa, Amerika Utara dan Cina," kata juru bicara tersebut.
Ia menambahkan, perusahaan sedang berusaha keras mengatasi hal tersebut. Klorin biasa digunakan dalam pengolahan air untuk membunuh bakteri. Kadar klorin yang tinggi sangat berbahaya dan dapat mengakibatkan kematian bagi manusia.
Kantor berita Xinhua melaporkan kontaminasi terjadi pada Februari ketika air dengan kadar klorin rendah tanpa sengaja mengalir ke air yang digunakan untuk minum. Sumber anonim perusahaan mengatakan kepada media setempat bahwa sembilan instalasi produk telah terkontaminasi.
Cina menghadapi masalah keamanan pangan dalam beberapa tahun terakhir. Banyak pihak menyalahkan faktor tersebut terjadi karena kurangnya pengawasan. Produsen cenderung melakukan segala cara demi meraup keuntungan.
Cina merupakan salah satu pasar yang paling penting bagi pertumbuhan Coca-Cola. Pasar Cina menyumbang sekitar tujuh persen dari penjualan global tahun lalu.
Coca-Cola telah menyatakan rencananya berinvestasi lebih dari empat miliar dolar AS selama tiga tahun ke depan mulai 2012. Perusahaan minuman berkarbonasi tersebut mempunyai lebih dari 40 pabrik pengemasan di Cina. Coca-Cola bekerja sama dengan perusahaan makanan raksasa Cina COFCO dan perusahaan Hongkong Swire Pacific.