REPUBLIKA.CO.ID, Pada awalnya, tak tebersit di benak Ibnu Bathuthah untuk membukukan pengalaman yang didapat selama menjelajah dunia.
Namun, setelah mendapat saran dan dorongan dari sejumlah kalangan, terutama Sultan Maroko, Abu Affan Faris Al-Mutawwakil, generasi ke-11 Kesultanan Bani Marinid (Maryan), akhirnya pada 1354 M, dia berkenan berbagi cerita melalui dokumentasi sebuah buku dan berhasil diselesaikan pada 1355 M.
Lantaran Ibnu Bathuthah kurang mahir menulis dan mengemas cerita dalam bahasa sastra, sang sultan memerintahkan seorang sarjana Muslim bernama Abu Abdullah Ibnu Juzzay membantu proses pembukuan.
Ibnu Juzzay, sosok yang pernah bertemu dengan Ibnu Bathuthah di Granada, Spanyol, adalah orang yang menyusun dan merapikan penggalan demi penggalan cerita yang sebagian didiktekan dan separuh lainnya ditulis secara parsial dan tak beraturan oleh Ibnu Bathuthah dengan mengorek kembali memori ingatannya.
Oleh Abdullah Ibnu Juzzay, kitab Ar-Rihlah juga diberikan beberapa tambahan serta dilengkapi dengan sejumlah deskripsi negara yang tidak disebutkan oleh Ibnu Bathuthah, antara lain kisah negara Suriah, Palestina, dan Makkah.
Deskripsi tersebut dinukil dan diambil dari kitab Ar-Rihlah karangan Ibnu Jubair yang juga pernah berkeliling dunia sejak 579 H hingga 614 H sekitar abad ke-12 Masehi, selisih satu abad penuh sebelum Ibnu Bathuthah muncul.
Bahkan, usaha yang dilakukan oleh Ibnu Juzzay tersebut justru hampir mengacak-acak karya Ibnu Bathuthah. Namun, untungnya, Ibnu Bathuthah bertindak fair dengan menyebutkan ungkapan “menurut Ibnu Juzzay” tatkala mencantumkan dan menyisipkan tambahan di kitab Ar-Rihlah.
Kesederhanaan bahasa dan konsep penulisan buku inilah yang membuat Ibnu Khaldun meragukan keabsahan dan validitas. Ibnu Khaldun dengan tegas mengatakan bahwa karya Ibnu Bathuthah diragukan secara ilmiah karena informasi tentang wilayah yang dia singgahi sangat minim. Bahkan, Ibnu Khaldun menuding Ibnu Bathuthah menyampaikan berita-berita bohong mengenai tradisi dan adat-adat yang berlaku di masyarakat wilayah tertentu yang dia kunjungi.
Keraguan serupa juga ditunjukkan oleh sebagian kalangan orientalis. Kebanyakan mereka meragukan kevaliditas informasi yang disampaikan Ibnu Bathuthah. Para orientalis tersebut mendapati sejumlah kejanggalan kisah perjalanan yang diungkapkan Ibnu Bathuthah.
Misalnya, bagaimana Ibnu Bathuthah menempuh perjalanan dari Sungai Volga di New Sarai menuju Bolghar. Selain itu, ada keraguan lain, seperti kisah melancong Ibn Bathuthah ke Sana’a (Yaman) atau dari Balkh ke Bistam di Khurasan dan perjalanannya mengitari Anatolia.
Sejumlah orientalis juga mempertanyakan rute perjalanannya ke Cina. Namun, kalangan orientalis yang lain justru menganggap karya Ibnu Bathuthah sebagai konstribusi berharga untuk ilmu geografi dan sosiologi dan termasuk khazanah penting pula berharga pada abad ke-14.