REPUBLIKA.CO.ID, Alasan usulan pengeboman itu sederhana, sekaligus keji: sekali hantam semua binasa, tak perlu ada satu pun nyawa tentara Amerika Serikat yang berisiko dikorbankan. Beda dengan misi operasi penyerbuan karena ada kemungkinan tentara terbunuh saat bertugas.
Usulan itu muncul pada 14 Maret 2011, dalam pertemuan dengan pembahasan serangkaian pilihan bentuk serangan ke Abottabad yang dipresentasikan langsung kepada Presiden AS. Saat itu, wakil komandan pasukan gabungan militer (sekelas wakil Panglima TNI), Jendral James Cartwright, dengan enteng meyakini opsi serangan dengan bom berbobot 3.900 kilogram lewat pesawat B-2 ialah pilihan terbaik.
Menurut jendral bintang empat yang juga mantan pilot tempur Angkatan Laut ini, pengeboman bisa langsung menutup jejak penyerangan terhadap Usamah dan menghapus seluruh bukti kematiannya, bila pria yang tinggal dalam bangunan beton di Abbottabad itu ternyata bukan Usamah.
Saran itu memang ironis, pasalnya dalam debat internal di pemerintahan Obama masih ada keraguan apakah harus melakukan serangan atau tidak. Keraguan itu tak lepas Informasi mengenai keberadaan Usamah, yang sebenarnya sudah berada di tangan intelijen AS delapan bulan sebelum operasi dilakukan.
Rupanya foto pencitraan satelit CIA, sebagai satu-satunya sumber kuat, tidak mampu mengidentifikasi jelas wajah pria berjanggut dan berambut hitam yang keluar dari bangunan di Abbotabad untuk berkebun. Leon Panetta, bos CIA saat itu hanya meyakini 80 persen ia adalah pemimpin Alqaidah. Sejumlah kecil petinggi pemerintahan Obama, yang mengetahui data intelijen dan mempersiapkan serangan, bahkan lebih meragukan, hanya 60 -40 % meyakini itu benar Usamah.
Fakta dan perdebatan seputar operasi yang mengakhiri hidup Usamah itu itu terungkap dalam buku terbaru seorang jurnalis AS, Peter L Bergen, "Manhunt: The Ten-Year Search for Bin Laden From 9/11 to Abbottabad” . Peter juga satu-satunya wartawan yang pernah bertemu Usamah terakhir kali pada 1997 sebelum serangan WTC diluncurkan.
Dalam buku itu digambarkan bagaimana ada petinggi militer yang tak menganggap penting warga sipil tak berdosa. Nyawa tentara Amerika Serikat dipandang lebih penting ketimbang nyawa anak-anak dan wanita.
Berdasar riset yang tertuang di buku itu, dalam kompleks hunian Usamah di Abbottabad, terdapat 24 orang, terdiri dari Usamah sendiri, istri, anak, cucu dan tangan kanan kepercayaannya Abu Ahmed al-Kuwaiti (tewas ditembak dua kali di dada) beserta istri dan adik lelaki Abu Ahmed juga dengan istrinya (keduanya tewas ditembak di ruang tamu). Bila opsi bom 3,9 ton dipilih, daya ledaknya tak hanya membunuh orang-orang tadi dan bahkan wilayah sekitarnya ikut binasa.
Obama menolak opsi tersebut dan mendapat tentangan dari Joe Biden yang cenderung sepakat dengan pengeboman. Bergeser namun tetap setali tiga uang, muncul opsi lain tapi cukup dengan bom seberat 230 kilogram yang dijatuhkan dari pesawat tanpa awak, Predator.
Menteri Pertahanan AS saat itu, Robert M Gates dan Panetta termasuk yang menentang keras. Bila terbukti benar Usamah berada di sana, pengeboman bisa menghancurkan seluruh data intelijen penting Alqaidah. Akhirnya misi penyerbuan dengan melibatkan tim elit Navy SEALs, menjadi pilihan. Tim itu pun yang akhirnya menyerbu bangunan tempat persembunyian Usamah bin Ladin dan mengakhiri hidupnya dengan dua tembakan.