REPUBLIKA.CO.ID, TUNIS -- Seorang jaksa militer Tunisia menuntut presiden terguling, Zine al-Abidine Ben Ali, dijatuhi hukuman mati dalam pengadilan secara in absentia, Kamis (24/5). Ia diduga berperan dalam tewasnya pengunjuk rasa di sejumlah kota saat pergolakan dunia Arab (Arab Spring) dimulai.
Saat gelombang protes menyapu Tunisia pada 14 Januari 2011, Ben Ali melarikan diri ke Arab Saudi. Ia sebelumnya telah dijatuhi hukuman penjara 66 tahun atas berbagai tuduhan, mulai dari korupsi, perdagangan narkoba, penggelapan, hingga penyiksaan. Menurut pejabat pengadilan kepada AFP, selain mengusahakan hukuman mati untuk Ben Ali, jaksa juga berusaha agar 22 rekan terdakwa dikenakan hukuman seberat mungkin.
Hukuman mati adalah tuntutan yang terjarang di Afrika Utara. Kantor berita pemerintah, TAP, mengatakan jaksa di kota barat Kef juga meminta agar semua yang terlibat dengan tewasnya demonstran di Kasserine, Tala, Kairouan, dan Tajrouine dikenai hukuman maksimum.
Lebih dari 300 orang tewas dan banyak pengunjuk rasa terluka selama pemberontakan menggulingkan Ben Ali. Mereka tewas saat pasukan keamanan menerjang mereka dengan peluru tajam. Pemberontakan tersebut memicu gerakan Arab Spring di seluruh wilayah.
Dua polisi telah dijatuhi hukuman karena membunuh pengunjuk rasa. Namun, tidak ada pejabat senior yang dinyatakan bersalah atas kematian tersebut. Keputusan itu menyebabkan kemarahan keluarga korban.
Pemerintah Tunisia menghadapi kritik terus-menerus atas kegagalannya membujuk Arab Saudi menyerahkan Ben Ali dan istrinya, Leila Trabelsi. Dia dan istrinya adalah subyek dari surat perintah penangkapan internasional. Kendati demikian, pemerintah Saudi tidak menanggapi permintaan ekstradisi Tunisia.
Selama 23 tahun menjabat, anggota keluarga besar Ben Ali diyakini telah mengumpulkan kekayaan, menyimpan uang dalam rekening asing, dan menahan setiap orang yang berani berbeda pendapat. Gaya hidup mewah istrinya yang seorang mantan penata rambut dipandang rakyatnya sebagai simbol kekuasaan korup Ben Ali.