Dari Soal Berpakaian hingga Riba
Dari total 170 hadis yang ia uraikan, tokoh yang memutuskan terjun di dunia tasawuf saat berusia 27 tahun itu, menitikberatkan pada hadis-hadis adab. Keseluruhannya menyangkut etika dan norma hidup sehari-hari.
Hadis yang pertama kali ia uraikan ialah menyangkut tata cara berbusana yang baik. Di antaranya hadis riwayat Bukhari-Muslim dan sejumlah imam hadis lainnya mengenai larangan memakai baju (jubah atau gamis—Red) dengan posisi duduk sedangkan kedua pahanya terlihat. Cara seperti ini dilakukan dengan bajunya terlipat separuh.
Apa maksud di balik larangan itu? Menurut ulama yang belajar hadis di Nisaphur pada 285 H itu, mengenakan pakaian dengan cara demikian akan memudahkan aurat tampak. Apalagi, bila yang bersangkutan tidak memakai pakaian dalam.
Pada masa-masa awal Islam hadir di tengah-tengah masyarakat jahi liah, mereka belum terbiasa menutup aurat, bahkan ketika melaksanakan thawaf di Ka’bah sekalipun, aurat mereka terlihat.
Maka saat Islam datang, bangsa Arab diperintahkan untuk menutup aurat mereka sebisa mungkin dan menjaga pandangan agar tidak melihat aurat orang lain. “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 31). Larangan yang tersebut dalam hadis di atas, pada dasarnya ialah bentuk pendisiplinan kepada mereka.
Al-Hakim At-Tirmidzi juga menyebutkan pesan yang ada di balik larangan kencing dengan posisi berdiri. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, Rasulullah menegaskan hal itu.
Menurut analisis Al-Hakim, ada dua motif pelarangan tersebut. Pertama, posisi berdiri saat kencing rawan terkena percikan air seni. Sedangkan najis yang diakibatkan oleh kelalaian saat buang air kecil tersebut, bisa berujung pada siksa di alam kubur.