Kamis 31 May 2012 22:52 WIB

Al-Manhiyyat, Hikmah di Balik Larangan (3)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Kitab (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Kitab (ilustrasi).

Dari Soal Berpakaian hingga Riba

Dari total 170 hadis yang ia uraikan, tokoh yang memutuskan terjun di dunia tasawuf saat berusia 27 tahun itu, menitikberatkan pada hadis-hadis adab. Keseluruhannya menyangkut etika dan norma hidup sehari-hari.

Hadis yang pertama kali ia uraikan ialah menyangkut tata cara berbusana yang baik. Di antaranya hadis riwayat Bukhari-Muslim dan sejumlah imam hadis lainnya mengenai larangan memakai baju (jubah atau gamis—Red) dengan posisi duduk sedangkan kedua pahanya terlihat. Cara seperti ini dilakukan dengan bajunya terlipat separuh.

Apa maksud di balik larangan itu? Menurut ulama yang belajar hadis di Nisaphur pada 285 H itu, mengenakan pakaian dengan cara demikian akan memudahkan aurat tampak. Apalagi, bila yang bersangkutan tidak memakai pakaian dalam.

Pada masa-masa awal Islam hadir di tengah-tengah masyarakat jahi liah, mereka belum terbiasa menutup aurat, bahkan ketika melaksanakan thawaf di Ka’bah sekalipun, aurat mereka terlihat.

Maka saat Islam datang, bangsa Arab diperintahkan untuk menutup aurat mereka sebisa mungkin dan menjaga pandangan agar tidak melihat aurat orang lain. “Katakanlah kepada wanita yang beriman, ‘Hendaklah mereka menahan pandangannya dan kemaluannya.” (QS. An-Nuur: 31). Larangan yang tersebut dalam hadis di atas, pada dasarnya ialah bentuk pendisiplinan kepada mereka.

Al-Hakim At-Tirmidzi juga menyebutkan pesan yang ada di balik larangan kencing dengan posisi berdiri. Dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi dan Ibnu Majah, Rasulullah menegaskan hal itu.

Menurut analisis Al-Hakim, ada dua motif pelarangan tersebut. Pertama, posisi berdiri saat kencing rawan terkena percikan air seni. Sedangkan najis yang diakibatkan oleh kelalaian saat buang air kecil tersebut, bisa berujung pada siksa di alam kubur.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
وَمَا تَفَرَّقُوْٓا اِلَّا مِنْۢ بَعْدِ مَا جَاۤءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًاۢ بَيْنَهُمْۗ وَلَوْلَا كَلِمَةٌ سَبَقَتْ مِنْ رَّبِّكَ اِلٰٓى اَجَلٍ مُّسَمًّى لَّقُضِيَ بَيْنَهُمْۗ وَاِنَّ الَّذِيْنَ اُوْرِثُوا الْكِتٰبَ مِنْۢ بَعْدِهِمْ لَفِيْ شَكٍّ مِّنْهُ مُرِيْبٍ
Dan mereka (Ahli Kitab) tidak berpecah belah kecuali setelah datang kepada mereka ilmu (kebenaran yang disampaikan oleh para nabi) karena kedengkian antara sesama mereka. Jika tidaklah karena suatu ketetapan yang telah ada dahulunya dari Tuhanmu (untuk menangguhkan azab) sampai batas waktu yang ditentukan, pastilah hukuman bagi mereka telah dilaksanakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang mewarisi Kitab (Taurat dan Injil) setelah mereka (pada zaman Muhammad), benar-benar berada dalam keraguan yang mendalam tentang Kitab (Al-Qur'an) itu.

(QS. Asy-Syura ayat 14)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement