REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan
Hidupnya didedikasikan untuk membangun negara dan agama Islam. Sebagai seorang ulama terkemuka, ia dikenal sebagai figur yang sangat ikhlas menuntun umat. Pendiriannya begitu kuat dalam menentang segala pergeseran akidah yang tejadi di tengah-tengah masyarakat.
‘’Almarhum Anre Gurutta (AG) KH Muhammad Abduh Pabbaja memiliki kepedulian terhadap umat yang sangat besar sampai akhir hayatnya,’’ ujar Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Sulawesi Selatan, KH AG Sanusi Baco LC, mengenang.
Kiai Pabbaja memang dikenal sebagai ulama kharismatik yang sangat dihormati umat Islam di Pare-pare dan Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan. Ia adalah salah seorang pendiri organisasi massa Islam Darul Dakwah Wal Irsyad (DDI). Bahkan, kiai yang dikenal memiliki pendirian tegas itu pernah menjabat sebagai ketua umum DDI periode 1955-1962.
‘’Dalam mengambil keputusan untuk kepentingan seluruh umat, beliau adalah ulama yang punya pendirian tegas. Tapi, di sisi lain beliau juga bersedia menerima pandangan orang lain jika diberikan penjelasan dan pengertian, yang membuat beliau paham,’’ tutur Ketua Pengurus Besar DDI, Prof H Muiz Kabry seperti dikutip kantor berita Antara.
***
Kiai Pabbaja lahir di Allakuang, Sidenreng Rappang, Sulawesi Selatan, pada 20 Muharram 1336 H atau 26 Oktober 1918. Beliau lahir dari keluarga terpandang dan taat beragama. Ayahnya bernama Pabbaja bin Ambo Padde, seorang kepala wilayah di desa kelahirannya.
Ibunya bernama Hj Latifah binti Kalando, putri seorang imam atau penghulu syarak di desa itu. Kiai Pabbaja adalah anak kelima dari sepuluh bersaudara. Pada saat kecil, kawan-kawannya memanggilnya Mamma. Setelah menjadi ulama terkemuka, umat Islam memanggilnya Kiai Pabbaja.
Sebagai ulama Bugis Makassar, beliau dikenal dengan julukan Gurutta Pabbaja. Gurutta adalah gelar penghormatan untuk seorang ulama di wilayah Bugis Makassar. Mamma, begitu ia akrab dipanggil saat kecil, mulai mempelajari ilmu agama sejak kecil.
Ia belajar membaca Alquran dari ibunya. Menginjak usia enam tahun, Mamma menempuh studi di Sekolah Desa (Volksschool). Setelah itu, ia melanjutkan pendidikannya ke madrasah Makarim Al-Akhlaq hingga tamat. Kemudian, Pabbaja menimba ilmu di madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah di Kabupaten Wajo yang dipimpin KH Muhammad As’ad.
Madrasah ini dikenal sebagai lembaga pencetak ulama-ulama besar. Betapa tidak. Hampir semua ulama terkemuka yang tersebar di Sulawesi Selatan adalah alumni madrasah yang dipimpin Kiai Muhammad As’ad itu. Ualam besar yang lahir dari Madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah itu antara laih; KH Ambo Dalle, KH Yunus Maratan, KH Daud Ismail, KH Junaid Sulaiman, KH Abdullah Maratan, KH Ya’fie (ayah KH Ali Yafi’e).
Pada zaman itu, Madrasah Al-Arabiah Al-Islamiah, secara khusus mendatangkan Syekh Ahmad Al-Hafifi, ulama dari Al-Azhar Kairo, Mesir dan Syekh Sulaiman As-Su’ud dari Makkah untuk mengajar para santri. Di madrasah itu pula Pabbaja mempelajari dan mengkaji berbagai cabang ilmu Islam selama tujuh tahun.
Di antara ilmu keislaman yang dipelajarinya, Kiai Pabbaja lebih menyukai Ilmu Tafsir. Tak heran jika beliau dikenal sebagai ulama ahli tafsir yang fasih dan lancar berbahasa Arab. ‘’Penafsiran Alquran hendaknya disesuaikan dengan ilmu pengetahun modern tanpa meninggalkan prinsip yang harus digunakan dalam menafsirkan Alquran,’’ ujar Kiai Pabbaja.
Dalam menerjemahkan Alquran, Kiai Pabbaja, sangat tak setuju bila kitab suci umat Islam itu diartikan secara sepotong-sepotong. Menurutnya, Alquran harus diartikan secara lengkap agar tak ada kekeliruan terhadap maknanya. Begitulah pendapatnya tentang penafsiran dan penerjemahan Alquran