Jumat 01 Jun 2012 21:51 WIB

Beratnya Perjuangan Muslim Swiss (3-habis)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Sebuah menara masjid tampak di salah satu sudut kota di Swiss.
Foto: AP
Sebuah menara masjid tampak di salah satu sudut kota di Swiss.

REPUBLIKA.CO.ID, Penolakan terhadap simbol-simbol komunitas Muslim juga pernah terjadi pada 2007 silam. Saat itu Dewan Kota Bern menolak rencana untuk membangun salah satu Islamic Center terbesar di Eropa.

Bahkan, SVP dan the Federal Democratic Union mengumpulkan tanda tangan guna mendukung pelarangan pembangunan pusat kebudayaan Islam ini.

Dan komunitas Muslim di berbagai negara di dunia, termasuk dari Indonesia, mengecam pelarangan tersebut. Sebab, sebagai sebuah negara yang mengedepankan prinsip kebebasan dan demokratisasi, pelarangan tersebut menunjukkan sikap itu sebagai antikebebasan dan demokratisasi.

Kian dibatasi

Tak hanya persoalan menara masjid, beberapa kebijakan lain dari Pemerintah Swiss juga dirasakan mengekang kebebasan umat Islam di sana dalam menjalankan ajaran Islam. Salah satu contoh nyata adalah aturan mengenai penyembelihan hewan.

Berdasarkan aturan hukum di Swiss, penyembelihan hewan tanpa pemberitahuan merupakan tindakan terlarang. Karena ada aturan seperti ini, umat Islam Swiss terpaksa merayakan Idul Adha tanpa adanya hewan kurban. Sebagai gantinya, mereka memilih menyumbangkan uang atau mengimpor hewan kurban yang telah disembelih dari negara tetangga mereka, Prancis.

Bahkan, sebagai partai terbesar di parlemen, SVP berencana menerapkan lagi larangan-larangan terhadap minoritas Muslim Swiss. ''Pemilih memberi sinyal kuat untuk menghentikan tuntutan kekuasaan politik Islam di Swiss dengan mengorbankan hukum dan nilai-nilai kita,'' ujar Adrian Amstutz, anggota parlemen SVP beberapa waktu lalu.

Amstutz mengatakan, SVP juga akan berusaha untuk melarang burqa (pakaian longgar yang menutupi seluruh tubuh dan wajah-Red), bangunan makam Muslim, dan pembebasan siswa Muslim untuk ikut belajar berenang yang campur dengan laki-laki dan perempuan. ''Perkawinan paksa, khitan perempuan, dispensasi khusus dari pelajaran berenang, dan burqa berada di daftar puncak,'' tegasnya.

Pemimpin SVP, Toni Brunner, juga mengatakan pihaknya akan berupaya untuk melarang jilbab, yang dalam Islam merupakan pakaian wajib untuk perempuan, di tempat kerja. Pemerintah Swiss pada Oktober lalu telah mengumumkan rencana memperketat hukum untuk menindak perkawinan paksa. Sementara Partai Demokratik Kristen telah mendorong untuk sebuah larangan burqa.

Sulitnya melaksanakan Islam secara sempurna juga dialami Tariq Said Ramadhan, salah seorang tokoh Muslim Swiss. Ia mengatakan, betapa pahit dan sulitnya perjuangan umat Islam di negara tersebut.

''Saya merasakan langsung betapa berat tantangan yang dihadapi umat Islam di lingkungan Barat, termasuk saat ayah saya pindah ke Swiss. Alhamdulillah, tiga tahun setelah bermukim di Swiss berdirilah Islamic Center dibantu Pemerintah Arab Saudi,'' ujarnya seperti dikutip swaramuslim.net.

Umat Islam di negara Swiss membutuhkan bantuan dari negeri Muslim lainnya untuk memperkuat syiar dan dakwah Islam.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement