REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Heri Ruslan
Suatu hari Muadzah, bertanya kepada Aisyah RA, ‘’Mengapa orang haid harus meng-qadha puasa, tetapi tidak meng-qadha shalat?’’ Aisyah balik bertanya, ‘’Apakah engkau wanita Haruriy?” Muadzah menjawab, ‘’Aku bukan wanita Haruriy, tetapi hanya (sekedar) bertanya.’’
Aisyah RA berkata, ‘’Kami juga haid pada masa Nabi SAW, tetapi kami hanya diperintahkan untuk meng-qadha puasa dan tidak diperintahkan untuk meng-qadha shalat.” Dalam hadis yang diriwayatkan Imam Muslim itu disebutkan nama ‘’Haruriy’’.
Al-Haruriy merupakan nisbat kepada Harura, yakni sebuah wilayah yang jaraknya 2 mil atau 3,2 kilometer dari Kufah, Irak. Penduduk di wilayah itu adalah kalangan Khawarij. Disebut Haruriy, karena kaum Khawarij adalah kelompok yang memberontak kepada Amirul Mukminin Ali bin Abi Thalib RA.
‘’Dan yang menjadi [sebab] penamaan [kelompok] ini dengan Haruriyah adalah tinggalnya mereka di Harura pada permulaan pembentukannya,’’ ujar Abul Hasan Al-Asy'ari. Menurut John L Esposito dalam Ensiklopedi Oxford: Dunia Islam Modern, Khawarij adalah kelompok sektarian yang ketiga dalam Islam, di luar Sunni dan Syiah.
Para ulama mendefinisikan Khawarij secara berbeda-beda. Menurut As-Syahrostaany, setiap orang yang memberontak terhadap Imam yang benar yang telah bersepakat atasnya jamaah [muslimin] dinamakan khawarij.
Sedangkan, menurut Abu Ishaq, Al-khawarij adalah beberapa kelompok dari manusia di zaman tabiin dan tabiut-tabiin yang dikepalai oleh Nafi' bin Al-Azrah, Najdah bin Amir, Muhammad bin Ash-Shafaar dan para pendukungnya.
Menurut Esposito, Khawarij muncul pada zaman ‘’fitnah besar’’, yakni antara 656 dan 661 M. Semua berawal dari Perang Shiffin antara kubu Khalifah Ali bin Abi Thalib dan Muawiyah. Ketika perang saudara pertama dalam Islam itu berakhir di meja arbitrase, kelompok pendukung Ali yang sebagian besar berasal dari suku Tamim, mulai melakukan pembangkangan.
Kelompok Khawarij menuding Khalifah Ali telah mengingkarti surah Al-Hujurat [49] ayat 9, ‘’Jika dua golongan orang beriman berperang satu sama lain, damaikanlah mereka. Jika salah satu dari mereka berbuat aniaya kepada yang lain, perangilah yang berbuat aniaya itu, sehingga golongan itu kembali kepada perintah Allah SWT.’’
Keputusan Ali yang menyetujui arbitrase dinilai kelompok Khawarij sebagai sebuah dosa besar, karena telah mengingkari ayat-ayat Allah SWT. Dalam pandangan kelompok Khawarij, Khalifah Utsman layak mati karena kesalahan-kesalahannya. Ali-lah Khalifah yang sah, dan Muawiyah adalah pembangkang dan agresor yang tak layak di-tahkim.