Senin 04 Jun 2012 15:20 WIB

Optimalisasi Kesabaran

Umat Muslim di Cina saat berdoa bersama usai shalat berjamaah.
Foto: chinadaily.com.cn
Umat Muslim di Cina saat berdoa bersama usai shalat berjamaah.

REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr H Dindin Jamaluddin MAg

Sebagai umat Islam, kita harus senantiasa menjaga dan meningkatkan keimanan. Salah satunya adalah dengan memelihara dan mengoptimalkan kesabaran. Dalam Alquran, Allah menegaskan, kesabaran akan senantiasa menolong dan menjadi solusi atas berbagai persoalan. Bahkan, Allah akan senantiasa bersama orang-orang yang sabar. (QS al-Anfal [8]: 66).

Ayat di atas mengindikasikan bagaimana kesabaran harus dimaknai sebagai sebuah proses aktif menanggulangi permasalahan yang menimpa. Dalam perspektif Islam, musibah diinisiasi oleh dua hal.

Pertama, musibah muncul akibat kesalahan manusia pada Allah. Musibah seperti ini dimaknai sebagai teguran Allah. Kedua, musibah lahir karena kita tengah menghadapi ujian. Tujuannya, untuk menaikkan derajat keimanan. Kesabaran yang ditopang oleh semangat keimanan, niscaya akan mampu meminimalkan tindakan destruktif. 

Hazrat Inayat Khan mengatakan, kenikmatan dan kenyamanan hidup dapat menghalangi munculnya inspirasi dan ilham. Sebaliknya, rintangan dan cobaan (musibah) justru dapat membantu setiap orang memunculkan solusi.

Pun begitu dengan cobaan yang kita hadapi saat ini. Baik itu soal kemiskinan, merebaknya kasus korupsi, hingga bencana kemanusiaan. Ketika semua itu menimpa kita, penting dihadapi dengan kesabaran. Makna kesabaran, tidak hanya pasrah sumerah pada keadaan atau menerima kondisi apa adanya, tetapi dengan kesabaran itu kita berupaya menghidupkan semangat untuk keluar dari keadaan yang sedang menghimpit.

Dalam surah al-Anfal [8] ayat 66, Allah SWT menginformasikan bahwa di dalam kesabaran terkandung kekuatan transformatif bila kita lapang dada menyikapi kehidupan yang terjadi.

Bagi orang-orang yang sabar, ketika bencana kekeringan dan gempa menimpa, misalnya, dia tidak larut dalam kesedihan berkepanjangan tanpa melakukan usaha keluar dari musibah tersebut. Ketika kekurangan harta menjadi persoalan signifikan bagi pendidikan anaknya, hal itu tidak lantas mematikan semangat dirinya untuk terus berusaha.

Kekuatan usaha inilah yang menjadi sumber dasar dari Islam. Term usaha lebih dekat dengan konsep “amaliyah” dalam Islam, yang menyatukan antara ranah kognitif, afektif, dan psikomotorik yang tecermin dalam perbuatan.

Bagi seorang Muslim sejati, musibah dipahami sebagai ujian yang wajib dilalui untuk mengokohkan keimanan pada-Nya. Kerangka paradigmatik ubûdiyah digunakan untuk melewati cobaan Ilahi. (QS al-Ankabut [29]: 2).

Tonggak awal perubahan hidup diawali dari seberapa piawai kita keluar dari impitan masalah, sehingga menerpanya menjadi individu taat, takwa, sabar, dan tawakkal. Dengan hal inilah umat akan lebih bijaksana menyikapi aneka musibah yang seolah tak pernah berhenti menguji keimanan.

Merintih, meratap, dan terus larut dalam kekesalan tanpa berusaha bukanlah hakikat kesabaran. Al-shabru, ialah sebuah kerangka ketabahan jiwa yang menyertakan optimalisasi perbuatan aktif, sehingga terjadi perubahan hidupnya. Wallahu a’lam.

BACA JUGA: Ikuti News Analysis News Analysis Isu-Isu Terkini Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement