REPUBLIKA.CO.ID, BAGHDAD-- Kementerian Kebudayaan Irak mengatakan bahwa Amerika Serikat terus menunda mengembalikan salinan asli naskah kuno yang secara ilegal diselundupkan keluar Irak, Senin (4/6). Nahkah kuno itu juga dilaporkan telah dijual ke Israel.
Naskah merupakan bagian dari arsip Yahudi yang ditemukan di ruang bawah tanah gedung intelijen Irak setelah invasi 2003 Amerika. Arsip tersebut dilaporkan dipindahkan ke AS untuk tujuan perawatan. Nantinya, arsip dijanjikan akan dikembalikan ke pemerintahan Irak pada pertengahan 2006. Namun demikian, hingga kini arsip itu belum juga dikembalikan ke Asosiasi Warisan dan Arkeologi Irak.
Laporan media Irak menunjukkan bahwa Israel berada di balik penundaan pengembalian arsip tersebut. Israel disinyalir berencana untuk mendapatkan naskah-naskah bersejarah dari sekutunya AS. Wakil Sekretaris Jenderal Liga Arab, Ahmed ben Hellli telah mengkonfirmasi adanya upaya Israel untuk mencuri arsip kuno Irak.
"Irak telah mengalami pencurian terbesar naskah dan harta bersejarah," katanya. "Israel ada hubungannya dengan pencurian ini".
Menurut para arkeolog, arsip Yahudi Irak mengandung hampir 3.000 dokumen dan 1.700 barang antik di era kaum Yahudi diperbudak di Irak selama zaman Babilonia. Koleksi ini juga terdiri dari barang-barang milik orang Yahudi yang tinggal di Irak.
Di antara item yang paling penting dalam koleksi adalah salinan tertua dari Talmud dan Perjanjian Lama. Itu sebabnya, para ahli berpendapat, mantan rezim Irak menyimpan koleksi kuno itu di gedung intelijen.
Para ahli menambahkan bahwa Israel tertarik untuk mendapatkan naskah untuk membuktikan klaim mereka bahwa orang Yahudi telah membangun Menara Babel sebagai bagian dari usahanya untuk mendistorsi sejarah Timur Tengah untuk kepentingan sendiri.
Menurut Saad Bashir Iskander yang merupakan kepala Perbukuan Irak dan Otoritas Naskah, Amerika Serikat sengaja memindahkan naskah kuno tersebut.
"Naskah dimasukan ke dalam 48.000 kotak dan kemasan. Amerika Serikat memiliki 90 persen dari arsip bersejarah Irak yang dimilikinya. Peneliti Amerika dan universitas menggunakannya secara ilegal,"kata Iskander.