Ahad 17 Jun 2012 11:19 WIB

Prof Andi Faisal Bakti: Dai Pasang Tarif Bisa Mengurangi Esensi Dakwah

Sepanjang Jalan Dakwah
Sepanjang Jalan Dakwah

REPUBLIKA.CO.ID, Isu komersialisasi dakwah yang dilakukan sejumlah dai jelas sangat mengkhawatirkan. Menurut guru besar Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof Andi Faisal Bakti PhD, kerja dakwah adalah ibadah.

Berikut hasil wawancara Damanhuri Zuhri dari Republika, Rabu (21/3), dengan dekan Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Pancasila itu seputar masalah komersialisasi dakwah:

Tarif dakwah mengapa muncul di perkotaan?

Tarif dakwah muncul di perkotaan karena tuntutan kebutuhan hidup manusia. Untuk memenuhi kebutuhan keseharian, semuanya serbauang. Kata orang Inggris, “There is no free lunch in town. (Tak ada makan siang gratis di perkotaan).”

Di perkotan seorang dai juga memerlukan biaya transportasi, konsumsi, beli buku, dan pakaian yang layak. Lebih penting lagi, mereka telah membiayai sekolah dan kuliahnya dengan biaya yang tidak sedikit. Tak jarang juga seorang dai malah dimintai sumbangan oleh jamaah sehingga dia memang memerlukan pendapatan.

Apakah ini akan mereduksi esensi dakwah?

Ya, bisa saja mereduksi makna dakwah, bergantung dari keikhlasan sang dai. Esensi dakwah kan menyampaikan secara mubin (jelas), “Wamaa alayna illa al-balagh almu bin. (Tidaklah ada tugas bagi kami kecuali menyampaikan dengan jelas).”

Di ayat lain, “Wamaa umiru illa liaya’budullah mukhilishina lahu aldin. (Tiadalah diperintahkan kecuali beribadah kepada Allah secara ikhlas demi agama).” Kerja dakwah adalah ibadah. Jadi, bila seorang dai orientasinya adalah uang semata, ini bisa mengurangi esensi dakwahnya. Maka, terjadilah apa yang disebut dengan komersialisasi dakwah. Dai kemudian memasang tarif. Padahal, dalam Islam yang harus dikedepankan adalah keikhlasan. Berbisnis untuk dakwah, bukan malah sebaliknya, berdakwah untuk bisnis.

Selalu ada pembenaran buat pemasangan tarif, patutkah demikian?

Ya benar. Memang ada perbedaan dalam klasifikasi ulama soal upah kerja dakwah. Sebuah disertasi di UIN tentang upah dai ini telah ditulis oleh Dr Harjani Hefni (2010) yang kebetulan saya yang membimbing dan hasil penelitiannya cukup cemerlang. Baginya ada dua kategori upah, ada kerja dakwah yang disepakati kebolehannya dan ada yang diperselisihkan oleh ulama.

Yang diperbolehkan adalah seperti amil zakat, kadi (hakim), pegawai hizbah, bahkan penerima ganimah. Hal seperti ini tentu dinilai sangat patut karena memang ada dalil Alquran dan hadisnya. Namun, ada juga yang upahnya diperselisihkan, seperti muazin, imam masjid, khatib, guru mengaji, guru baca Alquran/pembaca doa, pengurus jenazah, pencermah, dan penulis buku.

Ini diperselisihkan karena tidak ada penjelasan Alquran dan hadis secara qat’i. Dengan demikian, me merlukan istinbathhukum. Tentu masing-masing ulama mempunyai pandangan berbeda-beda. Imam Ha nafi umpamanya mengatakan, upah seperti ini tidak boleh karena dai adalah ulama dan ulama adalah pewaris nabi yang semuanya jelas tidak boleh menerima upah.

Selain itu, alasan Hanafi adalah kerja dakwah merupakan kerja iba dah yang seharusnya free of charge dan pahalanya terpulang kepada pelaku kerja dakwah ini. He gets the reward from what he did. Imam Maliki, sebaliknya, berpandangan bah wa mengajarkan Alquran bukanlah wajib hukumnya. Dengan demikian, dia boleh menerima upah bila me nyampaian dakwah.

Imam Syafii juga membolehkan menerima upah dengan analogi hadis mengenai pengobatan orang sakit dengan bacaan al-Fatihah. Imam Hambali berargumentasi, bila guru mengaji bisa mendapatkan upah dari Baitulmal, maka dai tentu boleh juga menerima upah dari sumbangan masjid.

Bahkan, seorang pengikut Hanafi berpandangan, bila dai tidak dibolehkan mengambil upah pengajaran Alquran, ada kemungkinan Alquran akan lenyap di atas bumi ini. Itu karena hanya sedikit yang punya waktu lowong dan mau mendedikasikan dirinya mengajarkan Alquran secara gratis. Karena, desakan kehidupan yang terkadang kurang bersahabat.

Selain itu, pandangan lainnya adalah bahwa manusia itu memerlukan pengajaran dari seorang guru dan bagi guru sulit berkiprah secara baik mengajar tanpa upah karena waktunya habis untuk mengajar, sementara dia juga perlu hidup. Lebih jauh, Ahmad Hasan mengatakan, upah dai seharusnya bukan isu kontemporer lagi karena Baitulmal tidak ada lagi sekarang. Yang ada adalah BMT, yang fungsinya adalah bisnis. Kalau dulu pada zaman sahabat dan tabiin, memang Baitulmal —sebagai lembaga sosial—yang mengover semua upah dai secara memadai.

Lantas bagaimana dai seharusnya bersikap?

Dai seharusnya bersikap ikhlas. Mengedepankan aspek keikhlasan merupakan suatu keniscayaan bagi seorang dai. Dai seharusnya masuk kategori kerja profesional, tetapi tanpa tarif. Profesional mempunyai syarat, seorang dai seharusnya mempunyai tempo training yang memadai, seperti minimal alumni pesantren tingkat aliyah, sebaiknya mempunyai degree strata satu, dua, bahkan tiga karena anggota masyarakat juga semakin terpelajar.

Apa solusi dakwah ideal?

Solusinya adalah dai dilepaskan kepada pasar seperti saran Ibnu Khaldun. Masyarakatlah yang juga tentunya perlu secara ikhlas akan mengapresiasi kerja-kerja para dai, baik yang profesional maupun amatir. Atau boleh juga mengikuti pola Ahmad Shalabi yang menyarankan model semipasar. Yakni, harus ada perhatian khusus dari pemerintah terhadap nasib para dai sebagai support atas apa yang dilakukan oleh masyarakat.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement