REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Ferry Kisihandi/Wartawan Republika
Di tengah masyarakat yang beragam, selain masalah akidah dan ibadah Muslim berlaku inklusif.
Keberagaman di sebuah masyarakat merupakan keniscayaan. Bukan hanya karakter mereka, melainkan juga asal-usul serta agama yang dianutnya. Merespons hal ini, ada kelompok masyarakat yang menyampaikan gagasan pluralisme agama, yang diyakini akan meningkatkan rasa saling menghormati dan menghindarkan konflik.
Dengan pluralisme ini, mereka memandang akan ada dialog antaragama yang akhirnya melahirkan harmoni di tengah masyarakat yang beragam. Ada juga kelompok lain yang menentangnya. Saat ini, tak jarang perbedaan pandangan ini melahirkan perdebatan di antara kedua kelompok itu.
Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam fatwanya menyatakan pluralisme agama adalah suatu paham yang mengajarkan semua agama sama. Oleh karena itu, kebenaran semua agama adalah relatif. Maka itu, pemeluk agama tak boleh mengklaim hanya agamanya yang benar sedangkan agama lainnya salah.
Pluralisme agama juga menyatakan semua pemeluk agama akan masuk dan hidup berdampingan di surga. Berdasarkan pengertian itu, MUI memfatwakan pluralisme agama bertentangan dengan Islam dan Muslim haram mengikuti paham itu. “Dalam masalah akidah dan ibadah, umat Islam wajib bersikap eksklusif.”
Dalam artian, haram mencampuradukkan akidah dan ibadah umat Islam dengan akidah dan ibadah umat beragama lainnya. Mengenai pluralitas di masyarakat MUI pun menyinggungnya. Bagi yang tinggal bersama pemeluk agama lain, dalam masalah sosial yang tak berkaitan dengan akidah dan ibadah, umat Islam bersikap inklusif.
Menurut MUI, ini berarti Muslim tetap menjalin pergaulan sosial dengan pemeluk agama lain sepanjang tidak saling merugikan. Dalam memutuskan fatwa tersebut, lembaga ini merujuk pada sejumlah ayat Alquran dan hadis sebagai dasar. Di antaranya, Surah Ali Imran ayat 19, yang menyatakan agama yang diridhai di sisi Allah SWT hanyalah Islam.
Surah lainnya adalah al-Kafirun ayat 6, yang menjelaskan bagimu agamamu dan bagiku agamaku. Hadis yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim menjelaskan, Rasulullah bergaul secara baik dengan komunitas non-Muslim, seperti Yahudi yang tinggal di Khaibar dan Nasrani yang ada di Najran.
Bahkan, salah satu mertua Nabi Muhammad SAW yang bernama Huyay bin Ahthab adalah tokoh Yahudi Bani Quradzah. Ulama ternama, Yusuf al-Qaradhawi, memberikan perhatian terhadap masalah ini. Menurut dia, dalam dialog antaragama ada hal yang tak boleh dan boleh dilakukan.
Yang tak boleh adalah peleburan perbedaan-perbedaan inti dari berbagai agama. Seperti ajaran tauhid dalam Islam dan paham trinitas dalam Nasrani. Umat Islam mestinya tak melakukan langkah semacam itu demikian pula dengan pemeluk agama lainnya.
Ia menjelaskan, ada beberapa langkah yang dapat dilakukan dalam hubungan antaragama, yaitu membangun dialog dengan cara terbaik. Dalam An-Nahl 125 dijelaskan, “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik.”
Menurut al-Qaradhawi, lewat bukunya Fatwa-Fatwa Kontemporer, orang yang seakidah diajak dengan cara bijaksana dan nasihat yang baik. Sedangkan mereka yang tak berbeda akidah melalui debat atau dialog dengan cara yang baik pula. Dalam dialog antaragama, ia menyarankan agar mencari kesamaan ajaran setiap agama.
Al-Qaradhawi mengatakan, ada orang Muslim garis keras yang menganggap tidak ada titik temu antara Muslim, Nasrani, dan Yahudi. Pemahaman seperti ini adalah pemahaman yang salah mengenai sikap Islam terhadap para ahli kitab. Mengapa Allah membolehkan Muslim makan makanan mereka dan menikah dengan mereka?
Semua ini menunjukkan bahwa ahli kitab, walaupun tidak beriman kepada kenabian Muhammad, lebih dekat kepada Muslim daripada penganut agama dan ideologi lain, seperti ateis. Dialog dengan non-Muslim dapat diwujudkan dengan bersama-sama menegakkan keadilan dan membantu bangsa lain yang lemah.
Sebab, Islam menentang kezaliman dan menolong orang yang dizalimi tanpa melihat bangsa, ras, atau agama. Rasulullah menyebutkan, ia penah mengikuti sebuah aliansi pada masa jahiliyah, yaitu al-fudhuul. Aliansi ini bertujuan menolong orang yang dizalimi dan menuntut hak mereka.
Ibnu Ishaq meriwayatkan hadis, Rasulullah menyatakan jika dalam Islam dirinya diajak melakukan seperti itu, yaitu aliansi al-fudhuul pasti ia akan menerimanya. Al-Qaradhawi menganjurkan sikap lainnya dalam dialog antaragama, yaitu menyebarkan toleransi, kasih sayang, lemah lembut, dan bukan fanatisme, kekerasan, dan kekejian.
Apalagi, sikap kasih sayang dan lemah lembut ini selalu dicontohkan oleh Muhammad. Pada suatu saat, beliau menyatakan kepada istrinya, Aisyah, sesungguhnya Allah menyukai kelembutan dalam setiap perkara. Ia melanjutkan, Muslim berkeyakinan bahwa perbedaan manusia adalah realitas yang tak bisa dimungkiri.
Muslim pun menjunjung kemuliaan manusia secara universal. Sebuah hadis dari Jabir mengungkapkan, orang-orang yang membawa jenazah seorang Yahudi melewati Nabi Muhammad. Ia pun berdiri. Melihat hal ini, para sahabatnya bertanya mengapa beliau bersikap seperti itu. Rasul menjawab, “Bukankah dia juga manusia.