REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA -- Melangkahi pundak orang pada hari Jumat turut menjadi pembahasan ulama. Karena, saat pergi ke masjid untuk menunaikan sholat Jumat banyak jamaah yang melangkahi pundak orang lain untuk sampai di barisan pertama pertama. Sementara, khutbah Jumat sudah berlangsung.
Dilansir dari laman Islamqa, Jumat (15/11/2024), Nabi Muhammad SAW sendiri melarang melangkahi pundak orang-orang ketika khutbah Jumat, karena hal itu dapat menyakiti orang-orang yang sedang duduk. Dari Abdullah bin Busyr radhiallahu’anhu berkata:
“Ada seseorang datang dan melangkahi pundak orang pada hari Jumat sementara Nabi SAW berkhutbah, maka Nabi SAW bersabda,
اجلس ، فقد آذيت
Artinya: "Duduklah, sungguh engkau telah menyakiti.” (HR Abu Daud).
Maksud dari melangkahi pundak sendiri adalah orang yang melangkahi, yaitu mengangkat kakinya di atas pundak orang-orang yang duduk.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan, “Dalam melangkahi ada tambahan mengangkat kedua kakinya di atas kepalanya atau di pundaknya (maksudnya dua orang yang dilewati antara keduanya). Terkadang bajunya menyangkut sesuatu di antara kakinya.” (Fathu Bari, karangan Ibnu Hajar, 2/392).
Sementara itu, dalam kitab Nihayatul Muhtaj ila Syarah il Minhaj dijelaskan: “Ungkapan ‘pundak orang’, yang dimaksud dengan pundak manusia maksudnya adalah melangkahi pundak dengan mengangkat kakinya sampai melewati di atas pundak orang yang duduk.”
Dengan demikian, melewati di antara orang untuk sampai ke shaf pertama, bukan termasuk melangkahi pundak jamaah lainnya. Sementara kalau melewati di sela-sela celah dan kekosongan yang ada di antara orang-orang yang duduk tanpa melangkahi pundak mereka, maka hal itu diperbolehkan.
Al-Hafidz Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ”Kapan saja di antara dua orang yang duduk itu ada yang kosong (celah), di mana tidak sampai melangkahinya, maka dibolehkan berjalan di antara keduanya. Meskipun kedua betisnya menyatu di mana tidak bisa berjalan kecuali dengan melangkahi kedua betisanya, maka hal itu dimakruhkan. Kalau keduanya berdiri menunaikan shalat, kemudian dia berjalan di antara keduanya dan tidak ada seorang pun yang menahannya dan tidak menyakitinya, serta tidak membuat sempit seorang pun, maka hal itu dibolehkan. Kalau tidak, maka tidak dibolehkan.” (Fathul Bari karangan Ibnu Rajab, 8/206).
Jadi, yang dinamakan melangkahi pundak adalah jika jarak di antara dua orang yang duduk itu sempit, tidak ada seorangpun yang mungkin untuk melewatinya. Sehingga terpaksa mengangkat kakinya di atas pundak orang-orang yang duduk agar dapat melewati di antara keduanya.
Namun, melangkahi pundak itu diperbolehkan untuk imam kalau disana tidak ada jalan menuju mimbar atau mihrab kecuali dengan melangkahinya.
Al-Mardawi rahimahullah mengatakan, “Adapun kalau Imam, maka dia dibolehkan melangkahinya tanpa dimakruhkan, kalau hal itu dibutuhkan untuk melangkahi. Ini merupakan pendapat dalam mazhab kami. Ditegaskan oleh Al-Majdi.” (Al-Inshaf, 6/288).
Sebagian ulama lain juga mengecualikan kalau orang-orang yang duduk membiarkan kekosongan di depannya, maka dibolehkan bagi yang terlambat untuk melangkahinya agar sampai ke tempat itu. Sebagian mensyaratkan diperbolehkan hal itu sebelum imam berkhutbah di atas mimbar agar tidak mengganggu orang-orang yang duduk saat mendengarkan khutbah.” (Al-Mudawwanah, 1/239, Asna Al-Mathaib, 1/268, Syarh Al-Muntaha, 1/321).
Cuma yang lebih berhati-hati dan lebih dekat dengan pengamalan sesuai zahir hadits adalah tidak melangkahi dalam kondisi seperti ini.
Syekh Muhammad bin Utsaimin rahimahullah mengatakan dalam kitab As-Syarh Al-Mumti’, (5/96):
“Ungkapan, ‘Atau sampai ke tempat yang kosong’ maksudnya adalah tempat lapang di shaf pertama, kalau di sana ada ruang kosong, maka tidak mengapa melangkahi menuju ke sana."