Kamis 28 Jun 2012 11:17 WIB

Zadu Al-Muhajir, Tuntunan Berhijrah (2)

Rep: Nashih Nashrullah/ Red: Chairul Akhmad
Kitab (ilustrasi).
Foto: Wordpress.com
Kitab (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, Thaliq bin Habib pernah meminta agar memadamkan fitnah dengan ketakwaan. Ketika ditanya, seperti apa takwa yang dimaksud?

“Menaati Allah dengan cahaya-Nya, mengharap ganjaran, dan meninggalkan maksiat dengan cahaya-Nya, takut akan siksa,” kata Thaliq bin Thaliq, tokoh asal Basrah yang pernah dituding penganut ideologi Murjiah ini.

Berdasarkan ayat di atas, menurut Ibnu Qayyim, konteks pemaknaan tolong-menolong bagi sesama hamba ialah meningkatkan rasa empati dan saling bekerjasama di berbagai hal kebaikan serta meninggalkan keburukan. Dalam konteks hubungan antara hamba dan Allah lebih berarti menaati segala perintah dan tidak terjerumus melanggar larangan-Nya.

Di titik inilah dibutuhkan kecerdasan dan kepekaan seorang hamba. Berbuat baik kepada sesama manusia, hanya bisa dilakukan dengan menempatkan diri secara proporsional. Bertakwa kepada Allah, tak ada kata lain kecuali dilakukan dengan penuh keikhlasan, cinta, dan pengorbanan.

Dan titik tersebut menjadi fondasi dasar untuk sebuah misi besar, hijrah menuju ridha Allah melalui hijrah kepada Allah dan Rasulnya. Menurut Ibnu Qayyim yang merupakan murid fanatik ulama abad ke-8 Hijriah, Ibnu Taimiyyah, prosesi hijrah adalah kewajiban bagi setiap hamba, kapan dan di manapun ia berada.

Bobot kewajiban keduanya, sama-sama kuat dan tidak bisa dipisahkan. Maksud hijrah di sini, tak sekadar hijrah dalam arti bahasa dan tradisi yang berlaku di masyarakat, yaitu pindah secara fisik dari satu tempat ke lokasi lain. Melainkan, hijrah kepada Allah dan Rasul-Nya yang berarti memalingkan dan memusatkan hati kepada Dzat Mahaesa dan Rasulullah. “Inilah hakikat makna berhijrah,” tulis Ibnu Qayyim.

Ia pun menggarisbawahi bahwa kata hijrah telah direduksi oleh sebagian kalangan dengan memaknainya sebatas pada hijrah dari negara non-Muslim menuju daerah Muslim serta hijrah kembali ke Makkah pascapenaklukan Kota Suci tersebut.

Hijrah semacam ini, ia sebut sebagai hijrah temporal dan sama sekali tidak ada kaitannya dengan jiwa dan pribadi seseorang sepanjang hidupnya. Hijrah kepada Allah dan Rasul yang menjadi kewajiban selama hayat di kandung badan. Dan hijrah seperti ini tak bisa direkayasa dan dimanipulasi seseorang.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement