REPUBLIKA.CO.ID, Kota Baghdad yang indah dan megah telah melahirkan sejumlah ilmuwan besar di abad ke-9 hingga ke-13 M.
Transfer pengetahuan dari Yunani juga telah membuat Baghdad menjadi pusat pengembangan ilmu kedokteran, matematika, astronomi, kimia, literatur dan berbagai peradaban lainnya.
Sebagai sebuah metropolis intelektual, Baghdad juga dilengkapi dengan berbagai fasilitas publik, seperti museum, rumah sakit, perpustakaan, pusat bisnis serta masjid.
Kondisi Baghdad, pada era keemasan begitu kontras dengan keadaan Eropa yang tercengkeram dalam masa kegelapan. Baghdad telah menjadi jantung yang menggerakkan peradaban di seantero jagad.
Setelah 500 tahun berkuasa, kejayaan Dinasti Abbasiyah perlahan mulai meluntur. Pertentangan dan friksi yang terjadi di kalangan umat Islam mulai menguat. Cerita kebesaran dan keagungannya berakhir tragis setelah Baghdad luluh-lantak dihancurkan bangsa Mongol pimpinan Hulagu Khan pada 1258 M.
Ribuan sarjana dan 100 ribu warga Baghdad dibantai. Perpustakaan, saluran irigasi, serta gedung-gedung benilai sejarah dibumi hanguskan. Peritiwa kelam yang terjadi tujuh abad lalu itu kembali menimpa Baghdad. Pada tahun 2003 ketika Irak diserang AS.
Cahaya kebangkitan dari Timur
Era keemasan Islam di Baghdad ditandai dengan berkembangnya ilmu agama, filsafat dan ilmu pengetahuan. Khalifah mendorong para ulama dan sarjana untuk berlomba-lomba mengkaji ilmu.
Dengan tawaran gaji, fasilitas, dan hadiah yang besar, para sarjana Islam menerjemahkan sederet karya-karya ilmiah dari Yunani, Persia, Syria, dan Koptik ke dalam bahasa Arab.
Gerakan penerjemahan itu berlangsung selama 100 tahun. Awalnya, pendidikan dilaksanakan di masjid atau di rumah-rumah. Para ulama mengajar dengan sistem halaqah (pertemuan). Waktu itu beberapa masjid sudah dilengkapi dengan perpustakaan. Lembaga pendidkan dasar-menengah disebut kuttab.