REPUBLIKA.CO.ID, Pernah mendengar, dari sebuah tongkat dan seuntai tasbih, lahir 'bayi' yang di kemudian hari menjadi 'raksasa'? Bagi orang yang awam dan kebanyakan masyarakat lainnya, hal itu tampak sebagai sesuatu yang mustahil.
Namun, tidak demikian halnya bagi Kiai Cholil. Bayi yang dimaksud bukanlah bayi berbentuk manusia, melainkan sebuah organisasi kemasyarakatan yang kini telah menjadi besar, dan diikuti sekitar 40 juta penduduk Muslim Indonesia. Lalu, siapakah Kiai Cholil?
Bagi warga Nahdlatul Ulama (NU), nama itu tentu sudah tak asing. Dialah tokoh sentral di balik kelahiran 'bayi' yang kemudian bernama Nahdlatul Ulama (NU) itu.
Dalam bukunya, NU Liberal: Dari Tradisionalisme Ahlusunnah ke Universalisme Islam, Mujammil Qomar memaparkan, ada tiga orang tokoh ulama yang memainkan peran sangat penting dalam proses pendirian jam'iyah atau organisasi yang bernama NU ini.
Ketiga orang itu adalah KH Wahab Chasbullah, Tambak Beras, Jombang; KH Hasyim Asy'ari (Ponpes Tebuireng, Jombang); dan KH Cholil (Bangkalan).
Menurut Qomar, ketiga tokoh itu memiliki peran masing-masing. Kiai Wahab sebagai pencetus ide, Kiai Hasyim sebagai pemegang kunci, dan Kiai Cholil sebagai penentu berdirinya. ''Saat ini, Kiai Hasyim (Asy'ari) sedang resah. Antarkan dan berikan tongkat ini kepadanya,'' kata Kiai Cholil sambil menyerahkan sebuah tongkat.
Sepotong kalimat pendek ini memiliki makna mendalam. Kalimat pendek yang diucapkan itu, agaknya ikut memperlancar, bahkan menentukan lahirnya organisasi NU.
Ihwal pemberian tongkat ini bermula dari keresahan batin yang melanda Kiai Hasyim. Keresahan itu muncul setelah Kiai Wahab meminta saran dan nasihat Kiai Cholil, sehubungan dengan ide untuk mendirikan jam'iyah bagi para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.
Meski memiliki jangkauan pengaruh yang sangat luas, namun untuk urusan yang nantinya akan melibatkan para kiai dari berbagai pondok pesantren ini, Kiai Hasyim tak mungkin mengambil keputusan sendiri.
Pada awalnya, ide pembentukan jam'iyah itu muncul dari kelompok diskusi Tashwirul Afkar (potret pemikiran) yang didirikan oleh Kiai Wahab pada 1924 di Surabaya. Kelompok ini dibentuk sebagai wujud kepedulian Kiai Wahab dan para kiai lainnya terhadap gejolak dan tantangan yang dihadapi oleh umat Islam kala itu, baik mengenai praktik-praktik keagamaan maupun bidang pendidikan dan politik.