Kamis 19 Jul 2012 14:59 WIB

Hujjatul Islam: KH Muhammad Cholil (2)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
Ilustrasi
Foto: wordpress.com
Ilustrasi

REPUBLIKA.CO.ID, Namun, jauh sebelum itu, Kiai Wahab sudah bergabung dengan organisasi yang bernama Komite Hijaz.

Organisasi tersebut berperan besar melawan gerakan Wahabi dan kebijakan Pemerintah Saudi Arabia yang bermaksud menghilangkan berbagai situs dan peninggalan Islam.

Dalam perjalanan berikutnya, peserta kelompok diskusi yang tergabung dalam Tashwirul Afkar ini bermaksud mendirikan sebuah jam'iyah yang lingkupnya lebih besar ketimbang hanya sebuah kelompok diskusi.

Karenanya, Kiai Wahab merasa perlu meminta restu kepada Kiai Hasyim, yang ketika itu merupakan tokoh ulama pesantren yang sangat berpengaruh di Jawa Timur.

Setelah pertemuan dengan Kiai Wahab itulah, hati Kiai Hasyim resah. Sementara itu, Kiai Cholil, guru Kiai Hasyim yang juga guru Kiai Wahab, diam-diam mengamati kondisi itu. Ternyata, Kiai Cholil sangat tanggap dan memiliki kepekaan yang luar biasa.

Seorang santri, sekaligus cucunya sendiri, As'ad Syamsul Arifin (kemudian hari tekenal sebagai KH As'ad Syamsul Arifin, Situbondo), dipanggil untuk menghadap.

Selanjutnya, As'ad diminta untuk menyerahkan tongkat milik Kiai Cholil kepada Kiai Hasyim. Kiai Cholil juga menitip sejumlah ayat Alquran yang mengisahkan tentang perjuangan Musa AS melawan Firaun dan melemparkan tongkatnya hingga menjadi ular raksasa.

Dari sinilah kemudian kisah mengenai tongkat tersebut bergulir. Sesampainya di Jombang, As'ad segera berkunjung ke kediaman Kiai Hasyim untuk menyerahkan tongkat tersebut. Kiai Hasyim menerima tongkat itu dengan penuh perasaan.

Proses dari sejak Kiai Cholil menyerahkan tongkat sampai dengan perkembangan terakhir pembentukan jam'iyah berjalan cukup lama. Hingga, Kiai Cholil wafat pada 29 Ramadhan 1343 H (1925 M), keinginan untuk mendirikan jam'iyah belum juga terwujud. Barulah setahun kemudian, pada 16 Rajab 1344 H, 'jabang bayi' yang ditunggu-tunggu itu lahir dan diberi nama Nahdlatul Ulama.

Hidup mandiri

Muhammad Cholil, begitu nama yang diberikan kedua orang tuanya. Sang ayah, Kiai Abdul Latif, sangat berharap agar anak laki-lakinya yang dilahirkan pada 11 Jumadil Akhir 1235 H atau bertepatan dengan 27 Januari 1820 M di Kampung Senenan, Desa Kemayoran, Kecamatan Bangkalan, Kabupaten Bangkalan, Pulau Madura, ini di kemudian hari menjadi pemimpin umat sebagaimana nenek moyangnya.

Sehubungan dengan harapannya itu, Kiai Abdul Latif pun turun tangan langsung untuk mendidik anaknya. Cholil kecil ternyata memang menunjukkan bakat yang istimewa. Kehausannya akan ilmu, terutama ilmu fikih dan nahwu (gramatika), sangat luar biasa.

Ia sudah hafal dengan baik Nazham Alfiyah Ibnu Malik (seribu bait ilmu nahwu) sejak usia muda. Untuk memenuhi harapan sang ayah, Cholil dikirim ke berbagai pesantren untuk menimba ilmu.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement