REPUBLIKA.CO.ID, Dengan demikian, Kota Madinah tidak lagi dapat dikatakan mendominasi ilmu-ilmu keagamaan, apalagi pada generasi tabi’in di Madinah sendiri sudah terjadi perbedaan pendapat yang terlihat pada fatwa-fatwa mereka, yang membingungkan penduduk kota lainnya.
Dari perbedaan-perbedaan fatwa para tabi’in Madinah itu, penduduk kota lain ingin mengetahui lebih jauh tentang mana di antara fatwa-fatwa itu yang benar-benar berasal dari Nabi Muhammad SAW. Mereka kemudian lebih memercayai fatwa para sahabat yang tinggal di kota mereka masing-masing.
Imam Al-Lais bahkan menemukan banyak fatwa para sahabat di kota-kota lain yang berbeda dengan fatwa ulama Madinah. Misalnya, praktik penduduk Madinah membenarkan para tentara menjamak shalat apabila hujan.
Sementara para sahabat yang bermukim di Syam (Suriah) dan Mesir tidak pernah melakukannya, padahal hujan di Syam dan Mesir jauh lebih lebat daripada hujan di Madinah. Disamping itu, para sahabat yang bermukim di luar Kota Madinah juga melakukan ijtihad dalam berbagai perkara yang tidak terdapat dalam Alquran dan sunah.
Hasil ijtihad mereka itu tidak disalahkan oleh tiga khalifah pertama, Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Al-Khathab, dan Usman bin Affan. Kalau hasil ijtihad mereka itu keliru, tentu akan ada teguran dari khalifah. Ini menunjukkan bahwa dalam masalah- masalah hukum, sudah terjadi perbedaan pendapat di kalangan para sahabat.
Perbedaan pendapat itu semakin banyak terjadi pada generasi tabi’in. Kenyataan ini membuat golongan lain tidak sependapat dengan pendapat Imam Malik di atas. Itulah yang melatarbelakangi munculnya polemik di kalangan ulama usul fikih tentang posisi praktik (ijmak) penduduk Madinah dalam pembahasan sumber hukum Islam.
Imam Al-Lais sendiri tidak melihat adanya keistimewaan penduduk Madinah dibanding yang lain. Pendapat Imam Al-Lais ini juga dianut Muhammad bin Hasan Asy-Syaibani, seorang murid Imam Malik dari Mazhab Hanafi.