Rabu 15 Aug 2012 15:18 WIB

Program Anti-Islamophobia LSM AS: 'Menjadi Muslim Sebulan'

Rep: Agung Sasongko/ Red: Djibril Muhammad
Program Menjadi Muslim sebulan yaLSM AS
Program Menjadi Muslim sebulan yaLSM AS

REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA - Harus diakui stereotip negatif tentang Islam belum menghilang seutuhnya. Lembaga Swadawa Masyarakat (LSM) AS, World Weaver coba memberikan sumbangsihnya dengan membuat program pertukaran budaya yang bertujuan meluruskan stereotip negatif tentang Islam dan Muslim.

Organisasi ini menggelar program yang diberi nama 'Menjadi Muslim Sebulan'. Pesertanya merupakan penganut agama lain. "Memang provokatif, tapi cara ini sangat tepat untuk mengetahui seperti apa kehidupan seorang Muslim," kata Ben Bowler, pendiri World Weaver, seperti dikutip cnn.com, Rabu (15/8).

Menurut Ben, umat Islam menyambut positif usaha ini guna menghilangkan stereotip dan membekali peserta dengan perspektif spritual yang kaya. "Kebanyakan para peserta sangat terharu. Pandangan mereka mulai terbuka tentang Islam," kata Bowler.

Selama sebulan, peserta diberikan materi dasar-dasar Islam, studi sejarah Islam, kaligrafi, shalat di Masjid, menetap bersama keluarga Muslim dan berpuasa di bulan Ramadhan. Untuk lokasi, Bowler memilih Turki. Di negara itu, peserta akan menetap di rumah sufi berusia 400 tahun di distrik Eyup, Istanbul. Selanjutnya mengunjungi Konya, makam penyair Jalaluddin Rumi.

Tina Reisman-Boukes, 56 tahun, pekerja sosial Belanda, pemeluk Yahudi, ambil bagian dalam program ini atas rekomendasi anaknya. Mengikuti program itu, Tina merasa lebih baik memahami Islam.

"Saya melihat Islam merupakan agama sistematis yang memudahkan umatnya untuk dekat dengan Allah SWT. Saya melihat juga agama ini mampu mengombinasikan kehidupan individual dan komunal," ungkap dia.

Bowler menilai komentar dari Tina merupakan tujuan utama dari program ini. Ia berharap, melalui program ini semakin banyak masyarakat dunia yang paham tentang Islam. Namun, tantangan dalam program ini adalah kebanyakan peserta adalah perempuan.

"Nyatanya, mereka melihat sendiri bahwa tidak ada yang disudutkan dalam Islam. Saya melihat peluang yang luar biasa untuk berbagi informasi tentang agama lain," ucapnya.

Tak hanya Islam, Ben juga mengelar program menjadi penganut Buddha, Hindu, Kristen dan agama lain dunia. "Mungkin generasi kita yang pertama kali memahami semua agama," papar dia bangga.

Yuk koleksi buku bacaan berkualitas dari buku Republika ...
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement