REPUBLIKA.CO.ID, Rasulullah SAW memerintahkan umat Islam untuk meneruskan risalah Nabi Ibrahim AS, yakni berkhitan. Sebab, khitan merupakan bagian dari fitrah manusia, sebagai bentuk kesucian.
Dari Abu Hurairah RA, ia berkata, “Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda: 'Fitrah itu ada lima, yaitu khitan, mencukur bulu kemaluan, memotong kumis, memotong kuku dan mencabut bulu ketiak’.” (HR Bukhari dan Muslim).
Dari Utsaim bin Kulaib dari bapaknya dari kakeknya bahwasannya ia pernah datang kepada Nabi SAW lalu mengatakan, “Sungguh saya telah masuk Islam. Maka Nabi SAW bersabda: ‘Buanglah darimu buku (rambut) kekufuran dan berkhitanlah’.” (HR Abu Dawud dan Imam Baihaqi).
Kegiatan khitan ini terus melembaga pada masyarakat Islam, baik pada masa sahabat, tabi’in, tabiut-tabi’in (generasi setelah tabi’in), maupun pada masa-masa berikutnya.
Di Indonesia, kegiatan berkhitan, khususnya untuk laki-laki, merupakan sesuatu yang khas dan bahkan istimewa. Di beberapa daerah, peristiwa khitan dimeriahkan dengan pesta yang menyerupai pesta untuk walimah (pernikahan). Dan, tidak jarang pula di dalamnya terdapat upacara yang berbaur antara ajaran Islam dan tradisi atau kepercayaan lokal.
Bahkan, orang-orang tua dulu, sering bercerita mengenai cara berkhitan. Ada yang menggunakan pisau, kapak, bambu, maupun dengan alat lainnya. Adapun cara untuk menghilangkan rasa sakit juga bermacam-macam. Bahkan, agar cepat sembuh, mereka juga menyediakan sejumlah obat tradisional.
Konon, pernah pula mereka memberikan abu dari hasil pembakaran. Begitu kulup (penutup kulit kepala kemaluan) dipotong, maka mereka langsung menaburkan abu ke permukaan kulitnya. Tak terbilang rasa sakitnya.