REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Nasihin Masha/ Laporan dari Mongolia
ULAANBAATAR –- Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, nilai perdagangan Indonesia-Mongolia sangat kecil sekali. “Tahun lalu enam juta dolar AS. Pada periode yang sama, nilai perdagangan Indonesia-Cina 50 miliar dolar AS,” katanya, Rabu (6/9).
SBY menyampaikan hal itu dalam pertemuan pengusaha Indonesia dan Mongolia di Hotel Chinggis Khaan. Padahal, katanya, ekonomi Mongolia sedang tumbuh pesat. Begitu juga dengan ekonomi Indonesia. Karena itu, Presiden mendorong pengusaha kedua negara untuk memperkuat hubungan perdagangan dan investasi antara Indonesia dan Mongolia. Sebagai contoh, katanya, Indonesia membutuhkan daging yang sangat besar dan Mongolia adalah eksportir daging. “Ini hanya salah satu contoh,” katanya.
Dibandingkan dengan hubungan dagang Mongolia dengan negara-negara anggota ASEAN lain, kata SBY, maka nilai perdagangan Indonesia-Malaysia adalah yang paling kecil. Namun ia optimis angkanya akan terus naik. Sebagai contoh, ia menyebutkan nilai perdagangan kedua negara sejak Januari hingga Mei tahun ini mencapai 2,2 juta dolar AS. “Naik 54 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu,” katanya.
Selama lima tahun ini, katanya, komoditi utama Indonesia adalah minyak dan gas. Ia berharap agar ke depan lebih bervariasi lagi. Sebagai contoh ia menyebutkan mi instan, biskuit, kopi, teh, beras, gula, obat-obatan, dan produk-produk veteriner. Selain itu juga ada kelapa sawit dan air kemasan. SBY juga menyebutkan bahwa kedua negara sama-sama memiliki kekayaan pertambangan dan energi. Untuk itu ia mengajak keduanua untuk kerja sama di bidang tersebut.
Salah seorang pengusaha Mongolia mengungkapkan tentang hubungan dagang kedua negara yang masih melalui pihak ketiga. Untuk itu ia berharap hubungan itu bisa langsung, tanpa melalui negara lain. Menanggapi hal itu, SBY mengungkapkan pengalamannya ketika berkunjung ke Cina beberapa bulan lalu. Presiden dan PM Cina mengaku bahwa mereka mengalami defisit perdagangan. Padahal dalam catatan Indonesia, justru Indonesia yang defisit. Rupanya hal itu terjadi karena perdagangan kedua negara melalui pihak ketiga.
M Chatib Basri, kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal, dalam pidatonya, menyampaikan, sejak tahun 2000 hingga saat ini tak ada realisasi investasi Mongolia di Indonesia. Sedangkan investasi dari Indonesia ke Mongolia sangat terbatas. Padahal sejak abad ke-13, para pedagang Mongolia sudah memiliki hubungan dagang kepulauan Nusantara. Padahal kedua negara memiliki kekayaan sumberdaya alam yang besar, lahan pertanian yang luas, dan struktur demografi yang muda. “Banyak peluang yang bisa dikerjasamakan,” katanya.