REPUBLIKA.CO.ID, Dalam bahasa Arab, berburu disebut dengan as-said, bentuk masdarnya sada yang berarti mengambil atau menangkap.
Menangkap binatang liar dan yang halal dimakan yang tidak dimiliki oleh orang lain dan tidak pula dalam proses jual beli.
Menurut ulama Mazhab Hanafi, berburu berarti menangkap binatang liar, baik mempunyai kaki maupun mempunyai sayap, baik yang halal maupun tidak halal dimakan, dan binatang itu hanya bisa ditangkap dengan menggunakan tipuan.
Ulama fikih sepakat menetapkan bahwa berburu itu mubah (boleh) hukumnya bagi setiap orang yang ingin melakukannya, kecuali ketika ia sedang menunaikan ibadah haji atau umrah. Daging binatang buruan yang halal boleh dimakan.
Kebolehan berburu ini dipahami dari Surah Al-Ma'idah (5) ayat 2 yang menjelaskan bahwa seseorang yang telah selesai menunaikan ibadah haji atau umrah boleh berburu. Kalimat perintah ‘istadu’, yang berarti “berburulah” dikemukakan setelah adanya larangan berburu ketika seseorang sedang menunaikan ibadah haji dalam Surah Al-Ma'idah (5) ayat 1.
Dalam usul fikih, perintah yang dikemukakan setelah adanya larangan mengacu pada pengertian "boleh”.
Sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad bin Hanbal, Bukhari, dan Muslim dari Adi Ibnu Hatim menjelaskan bahwa jika seseorang melepas anjing peliharaannya dan membaca basmalah, lalu anjing itu berhasil menangkap dan membunuh binatang buruannya tetapi anjing itu tidak memakannya, maka pemilik anjing boleh memakan binatang buruan itu. Akan tetapi, jika anjing itu memakannya, maka pemilik anjing tidak boleh memakan sisanya.
Ulama Mazhab Maliki memerinci hukum berburu menurut motivasi pemburunya. Berburu hukumnya mubah, jika dagingnya digunakan untuk konsumsi; hukumnya sunah, jika digunakan untuk memenuhi kebutuhan keluarga; hukumnya wajib, jika digunakan untuk mempertahankan kelangsungan hidup dalam keadaan darurat; makruh jika hanya bertujuan untuk main-main; dan menjadi haram jika bertujuan untuk menganiaya binatang.