REPUBLIKA.CO.ID, LONDON--Pengadilan Inggris akan memulai penyelidikan atas kematian agen spionase Rusia, Alexander Litvinenko, yang tewas diracun pada 2006 lalu di Inggris. Hakim Pengadilan Inggris, Robert Owen, mengumumkan rencana tersebut.
Saat ini, pengadilan yang dipimpinnya akan mempertimbangkan pemeriksaan terhadap pemerintah Rusia, terkait pembunuhan tersebrut. Dia juga mengaku kecewa dengan pemerintahan di London yang tidak menaruh minat untuk menyelidiki kasus itu,.
Patut disesalkan, ujarnya, kematian itu tetap tak dapat di selidiki setelah enam tahun lamanya. The Washington Post menuliskan hakim senior tersebut berjanji untuk membuka kasus tersebut, dengan melakukan pra-peradilan diawal tahun mendatang. "Tidak akan ada penundaan lebih lanjut,'' kata dia, Kamis (20/9).
Litvinenko (43 tahun) adalah seorang pejuang politik dan aktivis kemanusian di Rusia, dan kerap mengkritik keras Kremlin. Dia ditemukan tewas setelah menenggak minuman yang dicampur dengan elemen radioaktif mematikan bernama polonium-210, pada November 2006 di London, tepatnya di Hotel Millennium Grosvenor Square, London.
Diranjang kematiannya, dia menunjukkan bukti-bukti yang mengarah pada terlibatnya Presiden Rusia, Vladimir Putin sebagai aktor intelektual pembunuhannya. Penasehat penyelidikan, Hugh Davies mengatakan tidak akan membuka temuan hasil investigasinya selama ini sebelum persidangan digelar. Namun dia memastikan terdapat bukti komunikasi secara langsung korban, dengan Dinas Intelijen Inggris, dan Pemerintahan Inggris.
Tewasnya Litvinenko sempat memicu sikap saling curiga antara Moskow dan London. Pasalnya, Jaksa Agung di London kala itu menuduh dua mantan anggota Dinas Intelijen Rusia (KGB) Alexander Lugovoi, dan Dmitry Kovtun sebagai eksekutor aksi pembunuhan dan mengancam akan menyeret dua tertuduh tersebut ke pengadilan. Namun Moskow menolak untuk menyerahkan terduga yang saat ini telah menjadi anggota parlemen Rusia.
Ben Emmerson, pengacara Marina (istri Litvinenko) mengatakan pemeriksaan terhadap pejabat Rusia dan para terduga harus dilakukan untuk menerangkan kasus ini. Dia yakin negara Beruang Merah itu terlibat, dan mengatakan bukti-bukti ke arah tersebut adalah nyata. "(Pembunuhan itu) adalah tindakan terorisme yang dilakukan oleh negara yang memiliki senjata nuklir,'' kata Emmerson, seperti dilansir The Washington Post, Kamis (20/9).