REPUBLIKA.CO.ID, Saat Bung Karno diasingkan ke Bengkulu pada 1938, ia menjadi penasihat agama Islam Bung Karno. Ketika pendudukan Jepang, ia diangkat menjadi Tsuo Sangi Kai dan Tsuo Sangi In (semacam DPR atau DPRD Minangkabau).
Meskipun menduduki jabatan tersebut, sikap kerasnya terhadap Pemerintah Kolonial Jepang tidak pudar.
Ia menentang keras peraturan Pemerintah Kolonial Jepang yang berusaha untuk menghalang-halangi murid-murid untuk melaksanakan shalat dengan mengadakan pertemuan menjelang maghrib dan tidak berpuasa.
Pada masa kemerdekaan, ia ditunjuk menjadi penasihat TNI Angkatan Darat, berkantor di Markas Besar Angkatan Darat. Akan tetapi, permintaan tersebut ditolaknya karena harus berkeliling ke daerah Sumatra, bertabligh sebagai pemuka Muhammadiyah.
Pada 1952, Presiden Soekarno lagi-lagi memintanya menjadi penasihat agama, dengan syarat memboyong seluruh keluarganya dari Bukittinggi ke Jakarta. Permintaan itu ditolak lagi.
Dalam Kongres Masyumi 1952, Buya diangkat menjadi wakil ketua Syura Masyumi Pusat. Setelah Pemilihan Umum 1953, ia terpilih menjadi anggota Komite Nasional Indonesia Pusat dan anggota konstituante dari Masyumi hingga konstituante dibubarkan.
Buya Sutan Mansur mengembuskan nafas terakhir pada Senin, 25 Maret 1985, yang bertepatan dengan 3 Rajab 1405, di Rumah Sakit Islam Jakarta dalam usia 90 tahun. Sang ulama, dai, pendidik, dan pejuang kemerdekaan ini setiap Ahad pagi menjelang akhir hayat senantiasa masih memberikan pelajaran agama Islam, terutama tentang tauhid di ruang pertemuan Gedung Muhammadiyah, Jalan Menteng Raya 62, Jakarta.
Jenazah almarhum dikebumikan di Pemakaman Umum Tanah Kusir, Jakarta Selatan, setelah sebelumnya dishalatkan di Masjid Kompleks Muhammadiyah.
Sumbangsihnya dalam mengembangkan Muhammadiyah di Sumatra Barat menjadikannya mendapat julukan Bintang Barat Muhammadiyah setelah KH Mas Mansyur dipandang sebagai Bintang Timur Muhammadiyah.