REPUBLIKA.CO.ID, Pada awal abad ke-2 Hijriah penggunaan istilah fikih dalam arti yang sempit mulai terlihat dalam
karya tulis ulama fikih.
Misalnya, Abdullah bin Mubarak (w. 181 H/798 M) menulis sebuah buku yang berisi beberapa topik, seperti hukum (fiqh), perang (gazawat) dan asketisisme (zuhd).
Akan tetapi, istilah fikih pada periode ini masih meliputi semua bidang hukum. Hal seperti ini berlangsung sampai masa imam-imam mujtahid yang mulai dari akhir abad ke-2 sampai pertengahan abad ke-4 H.
Pemilahan fikih pada bidang-bidang tertentu, misalnya ibadah, muamalah, munakahat, dan sebagainya baru terlihat pada kitab-kitab fikih yang disusun oleh para murid Imam Asy-Syafi’i. Buku- buku mereka disusun dengan sistematika yang dimulai dari rubu’ al-ibadah (bagian ibadah), rubu’ al-mu'amalat (bagian muamalah), rubu’ al-munakahat (bagian perkawinan), dan rubu’ al-jinayat (bagian pidana).
Sistematika fikih tersebut menunjukkan bahwa ketika itu sudah ada pembidangan fikih Islam. Dari sinilah muncul istilah fikih munakahat (hukum perkawinan) dalam kajian hukum Islam. Akhirnya, istilah itu memasyarakat di kalangan ulama dan umat Islam terpelajar.
Dewasa ini, fikih munakahat dikenal sebagai suatu cabang ilmu yang wajib dipelajari di fakultas syariat pada setiap perguruan tinggi agama Islam, termasuk di Indonesia.
Di Indonesia fikih munakahat diatur di dalam UU No. 1/1974 yang dikenal dengan Undang-Undang Perkawinan dan Instruksi Presiden No. 1/1991 tentang Kompilasi Hukum Islam.