Senin 22 Oct 2012 14:56 WIB

Dirut: Pasokan Gas Penyebab Inefisiensi di PLN

Rep: sefti oktarinisa/ Red: Taufik Rachman
Petugas PLN mengganti trafo listrik yang rusak (ilustrasi).
Foto: Antara/Arief Priyono
Petugas PLN mengganti trafo listrik yang rusak (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID,JAKARTA - PLN dan pemerintah memiliki alasan sendiri saat dikonfirmasi tentang tudingan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menilai PLN tak efisien.

Saat ditemui di DPR, Direktur Utama PLN Nur Pamudji mengaku inefisiensi itu terjadi karena berbagai persoalan.  "Sebenarnya laporan yang dipermasalahkan itu tahun 2009 hingga 2010," tegasnya, Senin (22/10). Ia menuturkan salah satu masalahnya karena PLN tidak mendapat pasokan gas.

BPK menuding PLN gagal mengupayakan gas sehingga membuat triliunan dana tak bisa dihemat. "PLN katanya gagal mengupayakan pemenuhan gas," ujarnya.

Sementara itu, Wakil Menteri ESDM Rudi Rubiandini enggan berkomentar banyak tentang hal ini. "Nanti ya Rabu (24/10) baru bisa diterangkan. Sekarang belum boleh dibuka," katanya. Namun, ia membenarkan persoalan ini akibat tata niaga gas. Menurutnya PLN sulit mendapatkan gas akibat barang yang tidak ada.

Pasalnya dalam Peraturan Menteri ESDM nomor 3 tahun 2010, PLN bukan prioritas yang mendapatkan gas. Di mana PLN berada diposisi ketiga setelah minyak dan pupuk.

Hal senada juga diakuir Kepala Badan Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) R Priyono. "Kami kalau memberi gas mengikuti peraturan menteri, tidak bisa sembarangan," jelasnya.

Ia pun menampik anggapan BP migas sembarangan dalam mengatur pemberian gas. "Kami jawab, kami tak sembarangan dalam urusan ini. Kami sudah sanggah temuan BPK," tegasnya.

Sebelumnya, hasil audit BPK menunjukan PLN kehilangan kesempatan untuk melakukan penghematan biaya bahan bakar hingga Rp 37,60 triliun. Ini terjadi selama 2009 hingga 2010 lalu.

Untuk 2009 misalnya, PLN kehilangan kesempatan berhemat hingga Rp 17,90 triliun. Sedangkan di 2010 lalu, BUMN ini kehilangan kesempatan berhemat hingga Rp 19,70 triliun.

BPK menilai PLN sebagai pemasok listrik belum bekerja optimal. Penghematan dianggap gagal karena tidak mampu memenuhi kebutuhan gas sesuai volume dan spesifikasi teknis yang dibutuhkan.

Akibatnya, biaya pemeliharaan pembangkit menjadi lebih tinggi hingga Rp 108,24 miliar. Di mana biaya pemeliharaan di 2009 mencapai Rp 104,63 miliar sementara 2010 mencapai Rp 3,61 miliar.

Proyek 10 ribu mw yang terlambat juga membuat PLN boros menggunakan BBM. Ada sejumlah biaya yang ditambah seperti biaya konsultasi sebesar Rp 116,94 miliar dan 2,19 juta dolar AS, commitment fee sebesar 15,01 miliar dan 17,60 juta dolar AS.

Hasil BPK ini jugalah yang membuat DPR memanggil Kementerian BUMN, Kementerian ESDM, PLN, Pertamina, PGN, BP Migas dan Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) dalam rapat kerja Senin ini.

Namun karena Menteri BUMN yang juga mantan Direktur PLN Dahlan Iskan tidak jadi datang, rapat ditunda Rabu (24/10) mendatang.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement