Kamis 29 Nov 2012 11:20 WIB

KH Turaichan Adjhuri, Sang Pakar Ilmu Falak (2)

Rep: Nidia Zuraya/ Red: Chairul Akhmad
KH Turaichan Adjhuri.
Foto: blogspot.com
KH Turaichan Adjhuri.

REPUBLIKA.CO.ID, Di Indonesia, terdapat sejumlah tokoh yang sangat mumpuni dalam bidang ilmu falak ini.

Salah satunya adalah KH Turaichan Adjhuri Asy-Syarofi, seorang ulama asal Kudus, Jawa Tengah.

Ulama kelahiran Kudus, 10 Maret 1915, ini dikenal sebagai 'gurunya para ahli ilmu falak Indonesia'. Kepakarannya dalam bidang ini sudah tak diragukan lagi, mengingat keilmuan dan kapasitasnya yang dalam menekuni ilmu falak.

Karena kepakarannya itu, Kiai Turaichan—biasa disapa dengan Mbah Turaichan—diberikan jabatan sebagai Ketua Markas Penanggalan Provinsi Jawa Tengah.

Mbah Turaichan adalah putra Kiai Adjhuri dan Nyai Sukainah. Sejak masa kanak-kanak, ia dibekali dengan pendidikan agama yang sangat matang. Ia belajar melaui sistem tradisional masyarakat yang telah turun-temurun dijalani keluarga dan teman-teman di sekitarnya.

Ia mengaji pada para Kiai dan ulama di sekitar tempat tinggalnya secara nonformal dan  sempat mengenyam pendidikan formal di daerahnya selama dua tahun.

Unik

Mbah Turaichan terbilang seorang ulama yang unik. Namun, ia juga sangat luar biasa. Bila seorang 'calon ulama' dan anak seorang kiai diharuskan belajar pendidikan agama di pondok pesantren (pendidikan informal), sepanjang hidupnya Mbah Turaichan tak pernah mengecam pendidikan pesantren, dalam arti 'mondok' (menetap) sebagai seorang santri yang diasramakan di lingkungan pesantren.

Kebiasaan ini terbilang tidak lazim, kendati di pesantren dikenal dengan istilah santri kalong, yaitu santri yang belajar di pesantren, namun setelah belajar pada hari itu mereka kembali lagi ke rumahnya.

Mbah Turaichan hanya mengenyam pendidikan formal selama dua tahun, yakni ketika berusia 13 hingga 15 tahun. Tepatnya di Madrasah Tasywiquth Thullab Salafiyyah (TBS), Kudus, sekitar tahun 1928, yakni sejak madrasah tersebut didirikan.

Namun, karena kemampuannya yang dianggap melebihi rata-rata, maka ia diminta untuk membantu pelaksanaan belajar-mengajar di madrasah tersebut. Namun demikian, ia juga masih sempat belajar pada ulama lainnya secara nonformal.

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Yuk Ngaji Hari Ini
يَسْتَفْتُوْنَكَۗ قُلِ اللّٰهُ يُفْتِيْكُمْ فِى الْكَلٰلَةِ ۗاِنِ امْرُؤٌا هَلَكَ لَيْسَ لَهٗ وَلَدٌ وَّلَهٗٓ اُخْتٌ فَلَهَا نِصْفُ مَا تَرَكَۚ وَهُوَ يَرِثُهَآ اِنْ لَّمْ يَكُنْ لَّهَا وَلَدٌ ۚ فَاِنْ كَانَتَا اثْنَتَيْنِ فَلَهُمَا الثُّلُثٰنِ مِمَّا تَرَكَ ۗوَاِنْ كَانُوْٓا اِخْوَةً رِّجَالًا وَّنِسَاۤءً فَلِلذَّكَرِ مِثْلُ حَظِّ الْاُنْثَيَيْنِۗ يُبَيِّنُ اللّٰهُ لَكُمْ اَنْ تَضِلُّوْا ۗ وَاللّٰهُ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيْمٌ ࣖ
Mereka meminta fatwa kepadamu (tentang kalalah). Katakanlah, “Allah memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu), jika seseorang mati dan dia tidak mempunyai anak tetapi mempunyai saudara perempuan, maka bagiannya (saudara perempuannya itu) seperdua dari harta yang ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mewarisi (seluruh harta saudara perempuan), jika dia tidak mempunyai anak. Tetapi jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan, maka bagian seorang saudara laki-laki sama dengan bagian dua saudara perempuan. Allah menerangkan (hukum ini) kepadamu, agar kamu tidak sesat. Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”

(QS. An-Nisa' ayat 176)

Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement