REPUBLIKA.CO.ID, PRISTINA -- Komunitas Muslim Pristina tidak memiliki masjid yang representatif guna menunjang aktivitas beribadah. Kondisi itu merupakan akibat dari konsekuensi larangan membangun tempat ibadah di masa Yugoslavia.
Saat ini, jumlah masjid di Pristina mencapai 23 buah. Sebagian besar merupakan warisan Kekalifahan Ustmani. Masalahnya, sebagian dari masjid itu berkapasitas kecil. Bila semua masjid digabungkan, total kapasitas hanya mencapai 10.189 jiwa, sedangkan populasi muslim mencapai 200 jiwa. Sejak lima tahun, komunitas Muslim menuntut pemerintah agar mengizinkan pembangunan masjid baru. Sayang, tuntutan itu tidak terpenuhi.
Sebaliknya, pemerintah justru merubuhkan sebuah sekolah menengah atas di pusat kota baru-baru ini untuk didirikan katedral Gereja Katholik. Komunitas muslim pun menggelar aksi protes. Tak sia-sia, perjuangan komunitas muslim akhirnya berbuah hasil. Pemerintah menyetujui tuntutan itu. Peletakan batu pertama masjid baru dilakukan Oktober lalu.
Seperti dikutip kosovopress.com, Senin (17/12), Mufti Pristina, Naim Ternava mengatakan, pembangunan masjid sudah menjadi kebutuhan mendesak. Di masa lalu, banyak masjid yang berubah dan hancur. "Kebutuhan itu tidak hanya masalah agama saja, tetapi juga terkait dengan pendidikan, emansipasi, pendidikan, dan peradaban masyarakat," kata Ternava.
Ketua Parlemen Kosovo, Jakup Krasniqi mengatakan, hak agama di Kosovo dijamin oleh konstitusi. Melihat kondisi itu, pihaknya sangat mendukung adanya upaya memenuhi kebutuhan umat Islam akan ruang peribadatan. "Ini juga berlaku untuk agama tertentu," kata dia.
Sementara itu, Presiden Kosovo, Atifete Jahjaga mengatakan, Kosovo adalah negara sekuler yang dibangun di atas prinsip yang menjamin semua hak dari setiap individu dan masyarakat serta kebebasan beragama. "Kosovo adalah tempat di mana budaya, tradisi, dan agama terjalin selama berabad-abad. Negara ini juga menjadi saksi toleransi," ucapnya.