Ahad 23 Dec 2012 09:09 WIB

Bukan Bangsa Keras Kepala

Suporter Timnas Indonesia
Foto: Reuters
Suporter Timnas Indonesia

Hotel Sultan Jakarta, bulan Mei satu setengah tahun silam. Lelaki berdarah Perancis itu berkali-kali menggelengkan kepalanya. Dia sesekali menggaruk-garuk ‘rambut jagungnya’.

Thierry Regenass, nama lelaki tersebut, meletakkan posisi kaca matanya di atas rambut pirangnya karena (mungkin) sudah sangking peningnya menyaksikan aksi akrobat interupsi yang memekakan ruang Kongres PSSI 2011 Jakarta tersebut.

Direktur Keanggotaan dan Pengembangan Asosiasi FIFA yang datang sebagai pengamat itu pun menghilang sebelum Agum Gumelar, Ketua Komite Normalisasi, membubarkan kongres karena suasana yang tak lagi kondusif.

Kini, setelah satu setengah tahun berlalu, belum ada yang melunak dalam konflik dualisme yang mendera persepakbolaan Tanah Air. Harapan sempat hadir ketika Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Solo pada Juli 2011 menghasilkan jalan tengah dengan memilih Djohar Arifin sebagai ketua umum PSSI 2011-2015.

Tapi, kubu Nurdin Halid-Nirwan Bakrie dan George Toisutta-Arifin Panigoro kembali berjalan ke kutub yang saling berseberangan.  Djohar Arifin --yang terpilih dirinya menjadi ketua umum PSSI dinilai sebagai kemenangan kubu George Toisutta-Arifin Panigoro-- memecat pelatih timnas Alfred Riedl yang notabene pelatih pilihan era Nurdin Halid-Nirwan Bakrie.

Riedl dipecat hanya empat hari setelah Djohar Arifin terpilih sebagai ketua umum PSSI. Konflik semakin keras setelah PSSI mengganti Liga Super Indonesia (LSI) dengan Liga Primer Indonesia (LPI). Puncaknya muncul gerakan anti-Djohar Arifin bernama Komite Penyelamat Sepakbola Indonesia (KPSI) pada Desember 2011.

Lewat KLB Ancol pada Maret 2012, KPSI akhirnya membentuk PSSI tandingan dengan La Nyalla Mattalitti sebagai ketua umumnya. Konflik tidak hanya memunculkan dualisme kompetisi: LPI dan LSI. Ironisnya, konflik juga memaksa timnas ikutan terbelah antara timnas Alfred Riedl dan skuat Nil Maizar.

Kesempatan Terakhir

Tidak ada yang diuntungkan dari konflik dualisme yang sudah berlarut-larut ini. Timnas Indonesia gagal menorehkan prestasi di Piala AFF 2012 Malaysia.

Masyarakat pun sudah muak dengan para petinggi sepak bola yang terus saling berkeras mempertahankan egonya. Publik sudah jengah sama seperti ‘si rambut jagung’ Regenass yang garuk-garuk kepala tak percaya melihat kisruh sepak bola Tanah Air.

Melihat para pemangku sepak bola Tanah Air yang gagal meraih jalan musyawarah karena terus saling berkeras kepenting, Presiden FIFA Sepp Blatter pun mulai kehabisan kesabarannya meski masih bisa bersabar menunda sanksi untuk Indonesia.

‘’Saya semula berpendapat sudah saatnya berhenti di sini saja,’’ kata Blatter pertengahan Desember 2012. ‘’Jadi, ini seperti kado Natal atau kado akhir tahun buat Indonesia karena tidak dihukum."

Presiden FIFA berusia 76 tahun itu memberi tambahan waktu tiga bulan sebagai kesempatan terakhir bagi Indonesia untuk menyelesaikan masalahnya. Indonesia punya waktu hingga Maret 2013 untuk selesaikan dualisme kepengurusan.  ‘’Ini adalah harapan terakhir mereka," tegas Blatter.

Kita sungguh bukan bangsa keras kepala yang tidak bisa berdamai dan menyingkir ego demi mencari sebuah solusi atas kisruh dualisme sepak bola nasional.  Bahkan Hillary Clinton, mantan menlu AS, pun memuji Indonesia sebagai bangsa toleran dimana Islam, demokrasi, modernitas, dan hak-hak wanita bisa tumbuh bersamaan dan harmonis dalam satu negara

Waktu tiga bulan yang diberikan FIFA bukan hanya kesempatan untuk menyelamatkan sepak bola Indonesia dari ancaman sanksi FIFA.

Waktu tiga bulan itu sekaligus menjadi kesempatan untuk membuktikan bahwa kita --terutama petinggi sepak bola Tanah Air-- bukan bangsa keras kepala yang tidak bisa mengesampingkan ego demi mencapai mufakat guna menyudahi kisruh yang sudah berkepanjangan ini. Semoga.

BACA JUGA: Ikuti Serial Sejarah dan Peradaban Islam di Islam Digest , Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Terpopuler
1
Advertisement
Advertisement