REPUBLIKA.CO.ID, Di Arab Saudi lembaga yang ditugaskan oleh pihak kerajaan adalah Haiat Kibar al-Ulama (Dewan Ulama-ulama Senior).
Sebuah instansi yang beranggotakan para tokoh yang telah diakui kualitas dan kompentensi keilmuannya.
Keputusan ini dikeluarkan langsung oleh Raja Abdullah bin Abd Al Aziz pada 2010. Ketetapan tersebut diambil sebagai bentuk respons atas “kekacauan” fatwa di tengah masyarakat. Bukan upaya sertifikasi, tetapi ialah pelimpahan kewenangan fatwa.
Ini tentunya akan menjaga fatwa tidak keluar dari jalurnya dan menimbulkan kontradiksi di tengah-tengah masyarakat. Karena, tak semua orang bisa dinyatakan layak berfatwa.
Ibn as-Sam’ani mengatakan di kitab “Qawathi al-Adillah fi Ushul al-Fiqh”, seorang mufti harus memenuhi paling tidak tiga syarat utama, yaitu memiliki kompetensi berijtihad, kepribadian yang saleh dan terpercaya, serta mampu bersikap independen dan objektif.
Soal lain yang menggelitikterkait fatwa, yakni mengikat atau tidaknya sebuah fatwa. Masih dari kasus Arab Saudi, pada 2010 Komite Tetap Kajian dan Fatwa Negara itu mengeluarkan fatwa yang kontroversial dan memicu respons beragam dari masyarakat.
Fatwa tersebut menegaskan keharaman perempuan berprofesi sebagai kasir di toko-toko atau supermarket. Ini berisiko pada terjadinya percampuran antarlawan jenis.
Inti persoalan, sebetulnya bukan pada segi argumentasinya. Tetapi, permasalahan meruncing ketika lembaga tersebut hendak menarik fatwa yang awalnya bersifat individual—dari pertanyaan personal—menjadi domain dan kebijakan publik.
Sejumlah kalangan menilai, lembaga itu kurang memerhatikan kondisi sosial dan ekonomi. Bisa jadi perempuan bersangkutan adalah tulang punggung bagi keluarga. Maka, fatwa itu dinilai terlalu berlebihan jika diadopsi sebagai kebijakan publik sehingga mengikat.
Padahal, dalam kondisi tertentu, menurut Imam al-Hathab dalam kitabnya “Mawahib al-Jalil Syarkh Mukhtashar al-Khalil”, fatwa itu tak lebih dari jawaban atas suatu pertanyaan.