REPUBLIKA.CO.ID, Ikhtiarnya yang ikhlas membuat banyak pihak semakin menaruh hati kepadanya.
Ia ditunjuk menjadi kepala Madrasah Za’imat yang kemudian digabung dengan Madrasah Mualimat pada 1942.
Di Madrasah Mualimat ini ia terobsesi memberdayakan potensi Muslimah untuk menjadi mubalighat yang andal.
Alhasil, puncak perjalanannya bersama Muhammadiyah ditandai dengan terpilihnya Kiai Badawi sebagai Ketua PP Muhammadiyah selama dua periode. Periode pertama diamanahkan dari hasil Muktamar ke-36 Muhammadiyah di Jakarta.
Ia diangkat sebagai ketua PP Muhammadiyah periode 1962-1965. Tiga tahun berikutnya, Kiai Badawi didaulat lagi sebagai ketua PP Muhammadiyah dari hasil muktamar di Bandung.
Memimpin Muhammadiyah pada masa itu bukanlah hal mudah. Di pengujung masa Orde Lama itu, posisi Muhammadiyah tersudut karena sejumlah kadernya cukup banyak yang menjadi pengurus Partai Masyumi. Partai ini merupakan partai yang kemudian dibubarkan oleh Presiden Soekarno.
Tersudutnya posisi Muhammadiyah juga tak lepas dari hasutan Partai Komunis Indonesia (PKI). Presiden Soekarno pun dihasut untuk menjauhkan diri dari Muhammadiyah.
Meski Soekarno sendiri sudah mengenal Muhammadiyah, namun PKI tetap berupaya keras untuk menyematkan Muhammadiyah sebagai organisasi yang anti-Pancasila, anti-Nasakom hingga ahli waris dari kelompok separatis DI/TII.
Masa-masa sulit itu mampu dilewati oleh Kiai Badawi secara perlahan dan tenang. Selama dua periode memimpin, ia memilih menempatkan Muhammadiyah untuk bisa bersikap dan berinteraksi terhadap persoalanpersoalan politik pada masa itu.
Sikap ini perlu ditunjukkan karena kala itu anggota Muhammadiyah terus menggemuk jumlahnya. Tercatat pada 1962, anggota Muhammadiyah sebanyak 185.119 dengan jumlah anak ranting mencapai 2.300 serta 712 cabang. Anggotanya sendiri telah tersebar mulai dari Aceh hingga Papua (saat itu disebut Irian).