REPUBLIKA.CO.ID, Usulan penambahan jam pelajaran agama bukanlah upaya pemecahan yang bertujuan untuk menggampangkan masalah.
Haris juga yakin adanya hubungan antara penambahan jam pelajaran agama dan upaya memperbaiki akhlak pelajar.
Menurutnya, akhlak yang buruk dari pelajar itu muncul karena tidak adanya evaluasi terhadap pembelajaran ilmu agama yang diberikan. “Karenanya, butuh materi pembentukan karakter relegius yang berbasis evaluasi personal,” ujarnya.
''Jika kita sudah tidak bisa berharap lagi pada aturan-aturan agama yang dapat memperbaiki kehidupan dan akhlak manusia, mau pada hal apa lagi kita harus percaya?'' tanyanya.
Pendapat serupa juga disampaikan oleh Agus Mulyana. Ketua Lembaga Dakwah Kampus Universitas Pendidikan Indonesia (LDK UPI) Bandung ini melihat pelajaran agama sangat penting untuk memperbaiki moral dan karakter siswa.
''Terjadinya tawuran yang sampai menimbulkan kerugian fisik dan nyawa melayang itu memperlihatkan bahwa moral dan karakter siswa itu sudah jauh dari harapan. Nah, salah satu cara untuk memperbaikinya adalah perlunya pendidikan agama,'' kata dia.
Selama ini, lanjut Agus, pendidikan agama di sekolah hanya berdurasi dua jam setiap pekannya. Durasi belajar untuk pengetahuan agama itu sangat kurang.
Ia pun setuju dengan pendapat Suryadharma Ali jika di pesantren nyaris tak ada terdengar namanya tawuran pelajar. ''Ini pengalaman saya sendiri,'' kata Agus yang sebelumnya mondok di pesantren di daerah Kuningan, Jawa Barat ini.