REPUBLIKA.CO.ID, Oleh Ustaz Yusuf Mansur
Ayah saya, menunjukkan jam tangannya. Jam tangan kejujuran, begitu beliau menyebutnya.
Saat saya kecil, ayah saya dapat hadiah dari kantornya. Jam tangan dan piagam. Atas dedikasinya berkhidmat melayani negara dan masyarakat, dan tidak terlibat satu tindakan asusila, satu tindakan pidana, dan jujur selama bertugas.
Ayah saya bilang, nggak penting ayah cerita bahwa itu sebagai kebanggaan. Tapi yang terpenting adalah menjadikan hal tersebut sebagai pelajaran.
"Suatu saat kamu akan menjadi orang yang dipercaya, amanah, maka jadilah kamu orang yang teramat menjaga amanah itu.''
''Sesungguhnya sebenar-benarnya pemberi amanah itu adalah Allah. Bukan atasan, majikan, pimpinan, tapi Allah. Maka berhadapannya juga akan langsung dengan Allah."
Baru-baru ini, saya kembali mengernyitkan dahi mendengar pengakuan seorang staf di satu kantor pemerintahan. Ia ingin sekali bertaubat. Ia tidak suka berzina. Dan tidak mau berzina. Ia tahu bahwa berzina itu termasuk dosa besar.
Tapi kelemahan hati dia dan posisinya, membuatnya menjadi seperti turut berzina dan melakukan zina. Seolah-olah, dirinya pun menjadi pelaku zina.
Saya bertanya; "Koq bisa?" Dirinya menjawab, ia punya tugas tambahan dari pimpinannya. Tugas untuk menyediakan perempuan. Inna lillah.
Dan banyak lagi kenyataan yang saya dengar dan lihat. Sepertinya hal yang demikian itu sudah tidak membuat kita kaget lagi, jika kemudian ramai dibicarakan tentang segala tindakan tidak terpuji yang dilakukan di negeri ini, baik dari pemerintahan maupun swasta.
Seakan ketidakjujuran, asusila, ketidakpatutan, adalah sebuah keharusan buat mereka yang berkuasa, bisnis, memerintah, dagang, dan lainnya.
Iyakah? Saya nggak percaya.
Insya Allah, masih banyak di negeri ini orang yang seperti almarhum ayah saya. Sejak saya bisa melek, sejak mata ini bisa melihat, dan sejak telinga ini bisa mendengar, ayah saya, sangat jujur.
Dan beliau berusaha mewariskan kejujuran itu kepada anak-anaknya. Hingga jangan ada lagi anak-anak Indonesia yang berprinsip bahwa berbuat jujur itu susah. Tidak, jujur itu mudah.
Dan ayah saya adalah contoh terdekat saya. Sepanjang hidupnya, nggak ada cacat urusan perempuan. Beliau sangat amanah pada jabatan yang diembannya.
Begitu juga yang lainnya. Dan itu cukup buat saya, untuk percaya, bahwa Indonesia insya Allah masih punya banyak masa depan.
Seraya berdoa, agar di masa depan, Indonesia dikaruniai pemerintahan dan masyarakat yang jujur, dan berakhlak. Amien.
n