REPUBLIKA.CO.ID, Oleh: Dr HM Harry Mulya Zein
Sepekan terakhir, saya melakukan perjalanan ke tanah suci Makkah dan Madinah. Seperti tahun-tahun sebelumnya, Masjidil Haram dan Masjid Nabawi tak pernah sepi dari jamaah penjuru dunia. Titik sentral peradaban Islam ini menjadi pusat spiritual umat Islam di penjuru dunia.
Beragam warna kulit; hitam, putih, kuning atau cokelat berdatangan ke sini. Ada pelajaran yang dapat kita petik selain meningkatkan ketaatan pribadi. Tanah suci mengajarkan kita meningkatkan rasa persaudaraan sesama anak manusia.
Di sini kita tidak melihat jabatan, status sosial,status kekayaan/ekonomi. Yang dilihat hanya bentuk ketakwaan. Antara yang kaya dan miskin di Tanah Suci tidak terlihat perbedaan. Si kaya menolong si miskin. Hal itu benar-benar indah jika kita merasakannya.
Orang-orang mukmin yang kaya maupun yang miskin adalah sesama saudara, sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT, “Orang-orang beriman itu Sesungguhnya bersaudara.” (Al-Hujurat 10)
Arti persaudaraan tersebut ialah bahwa yang kuat menolong yang lemah yang kaya mengasihani yang miskin dan yang berdaya serta bertenaga membantu yang sudah tidak berdaya dan tak bertenaga.
Rasa persaudaraan sangat ditekankan dalam Islam. Allah SWT menurunkan Islam ke bumi selalu menegaskan kepada pengikutnya untuk selalu meningkatkan rasa persaudaraan. Karena pada dasarnya Islam agama untuk semua golongan.
Perbedaan dan permusuhan hanya manusia yang menciptakan. Tanpa disadari, manusia telah membuat perbedaan antar sesama. Manusia sendiri yang menciptakan sendiri rasa permusuhan sesama mereka.
Padahal, Islam selalu mengajarkan rasa persaudaraan. Islam tak sekadar mengatur hubungan manusia dengan Khaliq-nya (hablum-minallaah/ hubungan vertikal) akan tetapi membimbing juga setiap pemeluknya untuk membina hubungan harmanis dengan sesama manusia dan alam sekitar (hablum-minannas/ hubungan horizontal).
“Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai-berai, dan ingatlah akan nikmat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena nikmat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma’ruf dan mencegah dari yang munkar, merekalah orang-orang yang beruntung.” (Ali ‘Imran : 103-104).
Dalam dua ayat tersebut tersebut terdapat tuntutan yang harus dilaksanakan oleh muslim yang menjalin ukhuwah dalam Islam. Orang yang sengsara di hari kiamat nanti, bukan hanya orang yang tidak membangun hubungan baik dengan Allah namun mereka yang tidak mampu mengaplikasikan tuntunan Allah dan Rasulullaah dalam membangun hubungan harmonis dengan makhluk Allah SWT.
Sebagai seorang Muslim, sudah seharusnya kita berusaha untuk men-tawazun-kan (menyeimbangkan) antara hablum-minallaah dengan hablum-minannaas.
Betapa kuatnya hubungan antara rasa persaudaraan dan iman. Sehingga Rasulullah SAW mensyaratkan kecintaan kepada saudara sesama muslim sebagai salah satu unsur pembentuk iman. Iman sejati menghajatkan suatu rajutan persaudaraan yang kokoh di jalan Allah.
Karena itu eksistensi persaudaraan berbanding lurus dengan kondisi iman seseorang. Semakin solid suatu ikatan persaudaraan fillah, makin besar peluang untuk anggotanya dikategorikan sebagai mukmin sejati (mu’min al haq).
Sebaliknya ikatan bersaudara di jalan Allah ini bila rapuh, akan mengindikasikan suatu hakikat keimanan yang juga masih rendah tingkatnya. Karena itu jangan pernah berhenti membangun rasa persaudaraan.