REPUBLIKA.CO.ID,Drone bukan robot pembunuh yang bertindak sendiri saat membunuh atau membiarkan korbannya melanjutkan hidup. Drone bukan ‘terminator’, tapi pesawat tanpa awak yang dikendalikan dengan remote control oleh beberapa pilot Angkatan Udara. Jadi, drone adalah evolusi teknologi militer, bukan revolusi dalam perang.
Dari sisi moral dan etika, drone sedikit berbeda dibanding senapan, pesawat pengebom, dan tank. Keputusan apakah melancarkan tembakan atau tidak dilakukan oleh orang-orang yang mengendalikannya.
Jarak antara prajurit di medan perang tidak ada lagi. Namun, pilot pengendali drone memiliki kedekatan psikologis dibanding personel militer lainnya. Pilot menjadi begitu akrab dengan sasaran karena bisa mendeteksi kapan lawan tidur, makan bersama keluarga, atau sedang bersantai.
Sejumlah laporan menyebutkan betapa sulit bagi pilot pengendali drone berdamai dengan dirinya setelah menarik pelatuk, dan orang yang menjadi sasaran meregang nyawa. Beberapa pilot menembak sasaran yang sedang berada di dalam rumah atau sedang tidur.
Jadi, pertanyaan sulit yang harus dijawab bukan lagi tentang teknologi, tapi moral, pemilihan sasaran, dan transparansi. Ketika militan melawan AS secara global dan tidak mengenakan seragam seperti layaknya serdadu konvensional, muncul kekhawatiran terjadi salah sasaran saat harus menggunakan drone.
Pemerintah AS coba meredam kekhawatiran ini dengan merilis perincian dan proses penargetan. Namun, semua itu hanya mengurangi, bukan melenyapkan, kekhawatiran akan kemungkinan timbulnya korban sipil.