Rabu 06 Mar 2013 13:53 WIB

Obituari: Chavez dan Sosialisme Abad ke-21

Rakya Venezuela memegang lilin dalam sebuah upacara untuk mendoakan Presiden Huga Chavez
Foto: Reuters
Rakya Venezuela memegang lilin dalam sebuah upacara untuk mendoakan Presiden Huga Chavez

REPUBLIKA.CO.ID, Bila darah bisa menguarkan bau ideologi, maka urat nadi Hugo Chavez yang darah akan meneteskan beraroma sosialisme. Sejak kecil, sebagai bocah altar, Chavez tak mengenal kehidupan eksklusif. Ia menggambarkan hidupnya "miskin...sangat bahagia" mengalami "kesederhanaan, kemiskinan, sakit, kadang tidak memiliki apa pun untuk dimakan, dan "sejumlah ketidakadilan di dunia".

Chávez, simbol sosialisme Amerika Latin terpuruk akibat infeksi pernafasan, 21 bulan setelah ia pertama mengaku memiliki tumor. Ia tak pernah lagi muncul di muka umum selama tiga bulan usai menjalani operasi darurat di Kuba pada 11 Desember. Setelah berjuang melawan penyakitnya, Rabu (6/3), Chavez, 58 tahun, tutup usia.

Presiden yang berkuasa sejak 1999 itu dikenal dengan ambisi besar mentransformasi Venezuela, salah satu produser terbesar minyak dunia menjadi negara sosialis lewat Revolusi Bolivarian. Gagasan itu mengambil nama dari tokoh idolanya, Simon Bolivar, tokoh yang mengantarkan sejumlah negara Amerika Selatan meraih kemerdekaan pada awal 1800-an.

Tujuh tahun sebelum menjadi orang nomor satu Venezuela, nama Chavez sudah dikenal lewat plot kudeta militer Operasi Zamora untuk menggulingkan, Presiden Carlos Andrés Pérez yang dikenal korup. Meski operasi itu gagal, pidato singkatnya di depan publik dengan seragam tentara lengkap, sebelum dijebloskan ke penjara, berhasil memuculkan Chavez sebagai figur yang berdiri menentang korupsi dan pemerintah kleptokrasi

Sempat jatuh miskin setelah dipenjara dua tahun dan didepak dari militer, Chavez berhasil bangkit. Pada 1998, Chavez memenangkan pemilu dengan 56,2 % suara. Kemenangan tersebut menurut para analis disumbang terbesar oleh suara warga miskin dan kelas menengah yang tak puas akibat standard hidupnya menurun tajam dalam beberapa dekade lalu.

"Setelah banyak membaca, diskusi, debat dan perjalanan keliling dunia dan yang lain, Saya yakin--dan saya mempercayai pengakuan ini akan menjadi sekali seumur hidup--bahwa jalan menuju masa depan baru yang lebih baik bukanlah kapitalisme. Jalan itu adalah sosialisme," ujarnya dalam program televisi mingguan khusus menayangkan pidatonya pada 2005.

Ia memiliki julukan bagi gerakan politiknya, "Sosialisme Abad ke-21". Meski ia tak pernah menjelaskan rinci apa itu sosialisme abad ke-21, selain tatanan masyarakat yang menghadirkan kebebasan, persamaan, keadilan sosial dan solidaritas".

Anak kedua dari tujuh bersaudara itu, yang pasti berhasil mengarahkan negara pengekspor minyak kawasan Latin tersebut menuju perbaikan ekonomi. Berdasar laporan Center for Economic and Policy Research (CEPR) ekonomi Venezuela tumbuh menjadi rata-rata 11,85 % pada periode 2004-2007.

The Washington Post, mengutip PBB, menyatakan angka kemiskinan Venezuela yang tercatat 55,44 persen pada 1998, sebelum Chavez berkuasa, turun signifikan menjadi 28 % pada 2008.

Ekonom Mark Weisbrot  juga menyatakan, "Selama ekspansi ekonomi, tingkat kemiskinan terpotong tajam lebih dari separuh dari 54 persen rumah tangga pada paruh pertama 2003,  menjadi 26 persen pada akhir 2008."

Tingkat kemiskinan ekstrem jauh lebih membaik, turun tajam 72 persen, meski angka kemiskinan ini hanya diukur berdasar pendapatan tunai, dan tidak mengkalkulasi peningkatan akses terhadap kesehatan atau pendidikan.

Nicholas Kozloff, penulis biografi Chávez' menyatakan kebijakan ekonomi penikmat tulisan Noam Chomszky itu sebenarnya tidak sepenuhnya memunggungi kapitalisme, "Yang ia lakukan adalah menantang bentuk ekstrem pembangunan model neo-liberal,"

Hanya saja, sosialisime memiliki sisi gelap, begitu pula Chavez. Ia meninggalkan warisan berupa penindasan, baik terhadap politisi dan media swasta yang menentangnya.

Tokoh yang menyebut dirinya Torrijist, Velasquist namun anti-Pinochet, itu mengonsentrasikan kekuasaan hanya di cabang-cabang eksekutif, dan mengerdikan peran lembaga legislatif dan yudikatif. Ia juga mengubah lembaga-lembaga yang semula independen, seperti lembaga judisial, otoritas pemilu dan militer menjadi loyalis partisan.

Ia menggunakan jurus-jurus dekrit dan referendum yang didesain untuk melanggengkan kekuasan. Undang-undang baru dituding banyak lawan politik sengaja didesain untuk menghalangi mereka terjun dalam pemilu menantang partai berkuasa.

Pemerintah Chavez menarget stasiun siaran oposisi dengan menerbitkan hukum dan dekrit yang menyatakan hanya ada satu stasiun siaran utama di negara. Aturan itu memaksa puluhan radio dan televisi lebih kecil untuk tiarap.

Memang, Chavez adalah segelintir tokoh dunia yang berani terang-terangan mengecam Amerika Serikat. Sebagian besar pidato Chavez diwarnai kutukan terhadap Amerika Serikat. Kata imperialis selalu melekat setiap saat ia mengucapkan tetangga utaranya.

Ia menuduh AS merancang operasi untuk menggulingkannya. Chavez menjadi salah satu tokoh dari sedikit negarawan yang memiliki nyali untuk menuding Presiden AS, saat itu George W Bush sebagai iblis di depan Sidang Umum PBB.

Pada masa Chavez pula Venezuela bersama sekutunya di Amerika Latin mendirikan Bank of South, untuk mematahkan peran tunggal IMF sebagai pemasok hutang negara-negara yang kepepet dana. Lewat keuntungan ekspor minyak, delapan bulan pertama 2007, Venezuela menyuntikkan 8,8 milyar dolar AS, nilai yang 'tidak pernah ada' sebelumnya dalam skala negara Latin.

Langkah ini pula yang membuat Chavez kian dekat dengan sekutunya latinonya, Evo Moralez, Rafael Correa, dan Daniel Ortega, sekaligus membuat negara-negara Latin lebih percaya diri untuk mengambil posisi diametral dengan AS.

Berada di kampung halaman, sektor bisnis menudingnya menakuti investor dengan penyalahgunaan wewenang. Kebijakan Chavez memang penuh langkah arbitrer yang membuat perusahaan Barat meradang. Semasa 13 tahun berkuasa ia telah menasionalisasi perusahaan energi kakap dunia.

Tercatat, pemerintah Chavez mulai melakukan praktik nasionalisasi sejak 2007 ketika mengambil alih raksasa minyak Orinoco, Exxon Mobil dan ConocoPhillips.

Perusahaan Prancis, Total SA dan StatoilHydro ASA milik Norwegia tak ketinggalan dipaksa menerima kompensasi hanya sejumlah 1 milyar dolar setelah peran induk mereka, British Petroleum dan Chevron direduksi hanya sebagai partner minoritas.

Lalu pada 2009, Chavez menyikat proyek injeksi gas milik Williams Cos Inc dan aset-aset perusahaan jasa lokal. Setahun kemudian, pada 11 Juni, giliran 11 rig--landasan pengeboran minyak lepas pantai--milik Helmeric & Payne Inc, diambil alih oleh pemerintah.

Ia mengaku belajar dari Fidel Castro, tokoh sosialis Kuba yang dianggapnya mentor. Meski mengagumi Castro, Chavez mendapatkan inspirasi terbesar dari Bolivar hingga ia menamai kembali negaranya menjadi Republik Bolivaria Venezuela.

Ia berani terbuka untuk bersekutu dengan Iran dan negara-negara yang menentang Amerika Serikat. Ia tak segan menunjukkan pandangan anti-semit. Saat era Chavez pula, negara-negara Amerika Latin lebih lantang menyuarakan dukungan kepada Palestina dan mengutuk Israel.

Chavez memiliki cara khas untuk melucuti musuh-musuhnya, namun ia adalah pria yang ramah dan kadang bombastis, fakta yang bahkan tidak disangkal para penentangnya. Kini buku berjudul Hugo Rafael Chavez Frias telah ditutup. Venezuela tak lagi mendengar pidato rutin sang presiden berdurasi sepuluh jam nonsetop. Vaya con Dios!

BACA JUGA: Update Berita-Berita Politik Perspektif Republika.co.id, Klik di Sini
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement