REPUBLIKA.CO.ID, BANDA ACEH -- Kementerian Kehutanan memastikan proses perizinan untuk eksplorasi panas bumi (geothermal) dalam mendukung pembangkit listrik tenaga panas bumi (PLTP) tidak akan dipersulit. Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan mengatakan jika izin eksplorasi belum diberikan karena terdapat masalah dengan masyarakat di sekitar lokasi.
"Itu harus diselesaikan," tutur Zulkifli menjawab pertanyaan ROL setelah memberikan kuliah umum dalam seminar nasional bertajuk 'Pengelolaan Daerah Aliran Sungai Berbasis Masyarakat Menuju Hutan Aceh Berkelanjutan' di Kampus Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh, Selasa (19/3).
Seperti diketahui, PT Supreme Energy berencana melakukan pengeboran sumur panas bumi pertama di Gunung Rajabasa, Lampung Selatan, Lampung. Rencananya, Supreme Energy akan melakukan pengeboran sebanyak enam sumur untuk mendukung proyek pembangunan PLTP Gunung Rajabasa dengan total kapasitas 2x110 megawatt.
Proyek ini termasuk ke dalam proyek percepatan program 10 ribu MW tahap II yang disusun oleh PT PLN (Persero). Namun, Supreme Energy masih menunggu izin pinjam pakai kawasan hutan dari Kementerian Kehutanan. Sebab, dari total lahan konsesi panas bumi yang dimiliki perusahaan, lima ribu hektare di antaranya berada di kawasan hutan lindung. Sehingga, berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 Kehutanan, aktivitas nonkehutanan harus mengantongi izin kementerian terkait.
Zulkifli menjelaskan, wilayah yang akan dilakukan eksplorasi merupakan area rawan konflik. Oleh karena itu, perlu sosialiasasi yang mendalam agar eksplorasi dapat dilakukan dengan optimal. Sehingga nantinya keberadaan PLTP Gunung Rajabasa dapat diterima oleh masyarakat. "Harus dijelaskan dengan detil dan baik. Karena di Lampung Selatan ada hal-hal khusus (konflik) yang telah kita saksikan bersama," kata Zulkifli.
Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Kementerian Kehutanan Bambang Supijanto mengaku belum mendapatkan informasi terbaru terkait perizinan eksplorasi PT Supreme Energy. Termasuk di dalamnya apakah perusahaan telah memiliki analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal), izin dari pemerintah daerah setempat hingga izin dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral.
"Tapi karena Kemenhut telah melakukan MoU (penandatanganan nota kesepahaman) dengan Kementerian ESDM, (eksplorasi panas bumi) pasti kita accelerated," ujar Bambang.
Lebih lanjut, Bambang menyebut proyek ini didukung penuh karena pemerintah secara perlahan akan menggantikan batu bara dengan panas bumi. Ini mengingat panas bumi yang sifatnya ramah lingkungan.
Bambang menambahkan, perizinan eksplorasi panas bumi pada dasarnya meliputi aspek yuridis (peraturan perundang-undangan), teknis, manajemen, sosial dan ekonomi. Jika seluruh aspek telah dipenuhi, namun aspek sosial belum dipenuhi, maka fakta ini menjadi alasan bagi Kementerian Kehutanan untuk tidak segera memberikan izin.