REPUBLIKA.CO.ID, Tibalah giliran pria terakhir. Ia bertawassul dengan perbuatannya yang mendahulukan hak orang lain. Ia berhati-hati mengambil harta orang lain tanpa hak.
Suatu hari, ia pernah menyewa seorang buruh dengan upah seharga satu faraq beras atau sekitar 30 kilogram. Namun setelah bekerja, si buruh tak mengambil upahnya. Maka pria shalih si majikan itu pun mengembangkan harta tersebut hingga ia mampu membeli ternak sapi dari upah yang dijadikan modal tersebut.
Lalu datanglah si buruh meminta haknya. Namun upah tersebut sudah berkembang menjadi harta yang lebih banyak. Lalu apa yang terjadi? si majikan justru memberikan seluruh harta yang dikembangkan dari upah tersebut.
Padahal, dia yang mengembangkan harta itu, dan hak si buruh hanyalah hak awal seharga satu faraq beras. Namun si majikan merupakan pria shalih yang sangat berhati-hati akan hak orang lain, terutama harta.
"Aku berikan pada buruh semua harta yang aku kembangkan. Jikalau aku mau, tentu tidak aku berikan kepadanya kecuali upahnya saja. Akhirnya dia (si buruh) membawa sapi dan pengembalanya lalu pergi. Kalau Engkau tahu bahwa aku melakukannya karena Engkau, karena mengharap wajahMu, karena mengharap rahmatMu, maka bukakanlah untuk kami apa yang tersisa dari batu itu," pinta si pria ketiga sang majikan yang murah hati tersebut.
Maka Allah pun membukakan seluruh bagian batu penutup pintu goa. Mulut goa pun kini dapat dilalui ketiganya. Para hamba Allah yang shalih itu pun keluar dengan wajah gembira dan penuh syukur.
Kisah tiga pria saleh tersebut dikisahkan hadits Rasulullah dari shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar dengan riwayat muttafaqun 'alaih. Isi hadits kurang lebih seperti yang dikisahkan diatas.